Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi ll DPR RI, Aria Bima, menilai bahwa perubahan aturan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berulang dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat dan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Ia menyampaikan bahwa kegelisahan warga menunjukkan keinginan rakyat agar hak pilihnya dihargai secara nyata dan dilindungi oleh sistem hukum yang jelas.
“Kawan-kawan dan saudara-saudaraku sekalian, seringkali demokrasi paling terasa justru dalam hidupan sehari-hari. Ketika seorang warga berharap suaranya dihargai, bukan di ruang formal, tetapi di ruang batin yang paling dekat dengan dirinya. Ada keinginan agar pilihan yang kita tetapkan di bilik suara tidak berhenti di kotak suara, tetapi hadir kembali sebagai keputusan yang mencerminkan kelendak rakyat,” kata Aria, dikutip pada Minggu (23/11/2025).
Aria Bima menegaskan bahwa banyak warga merasa perubahan-perubahan hukum pemilu dan pilkada tidak selalu mudah dipahami sehingga memunculkan pertanyaan serius mengenai arah penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
“Namun dalam kenyataannya, banyak warga kemudian bertanya-tanya, mengapa aturan pemilu terasa berubah dan tidak selalu mudah dipahami? Pertanyaan semacam itu bukan tanda jauhnya rakyat dari negara, tetapi justru menegaskan bahwa rakyat ingin terlibat dan memahami apa yang sesungguhnya menjadi hak mereka. Yaitu kedaulatan,” ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa pergeseran payung hukum yang mengatur pilkada bukan hanya perkara administratif, tetapi juga menyangkut kepastian terhadap perlindungan suara rakyat.
Menurutnya, perubahan-perubahan tersebut telah terjadi berulang kali dalam beberapa tahun terakhir.
“Selama beberapa tahun terakhir, posisi perkada berpindah-pindah ranah pengaturan, pernah dianggap bagian dari pemilu. Kemudian diposisikan sebagai urusan otonomi daerah, lalu dikembalikan lagi ke pemilu melalui putusan mahkamah konstitusi,” ujarnya.
Aria Bima menilai pergantian kerangka hukum ini menciptakan situasi di mana masyarakat tetap menggunakan hak pilihnya, tetapi tidak selalu mengetahui dasar hukum yang menampung suara mereka.
“Pergeseran ini membuat masyarakat tetap menggunakan hak pilihnya, tetapi seringkali tidak tahu di payung hukum yang mana suara mereka ditempatkan. Ketika kerangka hukumnya berganti tempat, arah perlindungan atas suara rakyat ikut tampak bergeser,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kesulitan masyarakat dalam memahami arah regulasi pilkada berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap proses politik secara keseluruhan.
“Dan ketika arah itu sulit diikuti oleh publik, kepercayaan pun perlahan merapuh,” ungkapnya.
Dengan kondisi ini, Aria Bima mendorong pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk memastikan konsistensi regulasi serta memperkuat komunikasi publik mengenai dasar hukum dan implikasinya. Menurutnya, stabilitas aturan akan membuat pemilih merasa hak politiknya benar-benar dijamin oleh negara, sekaligus memperkuat kualitas demokrasi di tingkat nasional maupun daerah.

















































































