Ikuti Kami

Banteng Jatim Komitmen Berpihak Pada Kaum Tani

Petani bukan sekadar kelompok profesi, melainkan elemen inti dari berdirinya sebuah negara.

Banteng Jatim Komitmen Berpihak Pada Kaum Tani
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim, Hari Yulianto.

Jakarta, Gesuri.id - Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur tegaskan komitmennya untuk berpihak pada kaum tani sebagai pilar utama penyangga negara.

Momentum ini diwujudkan dengan aksi “kembali ke sawah” yang menggambarkan keberpihakan PDI Perjuangan terhadap petani sebagai penyedia pangan, sumber kehidupan, sekaligus penyangga kedaulatan bangsa.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim, Hari Yulianto menegaskan, bahwa petani bukan sekadar kelompok profesi, melainkan elemen inti dari berdirinya sebuah negara. Menurutnya, kebutuhan dasar sebuah bangsa berawal dari pangan, dan pangan itu berasal dari jerih payah petani.

“Petani adalah elemen inti negara. Dari petani kita mendapatkan kebutuhan dasar berupa pangan. Bung Karno sejak awal memahami bahwa produksi pangan merupakan penyangga bangsa. Kemandirian bangsa ini tak akan pernah tercapai tanpa petani yang sejahtera,” uhar Hari Yulianto, Selasa (23/9).

Baca: Ganjar Dukung Gubernur Luthfi Hidupkan Jogo Tonggo

Lebih jauh, Hari Yulianto menjelaskan bahwa problematika yang dihadapi petani di Jatim kian kompleks. Salah satunya adalah semakin menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi, baik untuk kepentingan industri, infrastruktur, maupun perumahan.

“Untuk petani di tanah Jawa, ketersediaan lahan semakin mengecil. Program realisasi saprodi juga masih banyak dirasakan kurang, mulai dari pupuk, alat pertanian, hingga akses pasar. Harga pun bermasalah ketika barang tidak tersedia di pasaran,” tuturnya.

Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Tahun 2023 Jatim menunjukkan, bahwa rata-rata alih fungsi lahan pertanian di Jatim mencapai 1.100 hektare per tahun. Angka ini sangat mengkhawatirkan, mengingat Jatim merupakan provinsi penyumbang beras terbesar di tingkat nasional.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), dari total 7,46 juta hektare lahan pertanian di Jatim, sebanyak 659.200 hektare sudah beralih fungsi. Jika tren ini terus dibiarkan, bukan hanya ketahanan pangan yang terancam, tetapi juga stabilitas sosial-ekonomi masyarakat Jatim.

“Alih fungsi lahan ini ibarat bom waktu. Jika tidak dikendalikan, maka Jatim yang selama ini menjadi lumbung pangan nasional justru akan mengalami krisis pangan. Inilah mengapa instrumen hukum berupa Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) menjadi sangat vital,” terang Hari Yulianto.

Jatim sejatinya sudah memiliki Perda No. 12 Tahun 2015 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Regulasi ini hadir sebagai bentuk komitmen pemerintah provinsi untuk melindungi lahan pertanian produktif agar tidak mudah beralih fungsi.

Perda ini menjadi bukti nyata bahwa negara hadir untuk melindungi petani. “Ada kepastian hukum, ada pendekatan spasial yang konkret, dan ada mekanisme kompensasi melalui sistem LCPB. Ini sejalan dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009 sekaligus mendukung ketahanan pangan nasional,” jelasnya.

Meski memiliki regulasi kuat, pelaksanaan Perda LP2B masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, keterbatasan pemerintah daerah. Dari 38 kabupaten/kota, baru 16 yang menindaklanjuti perda provinsi dengan aturan lokal. Artinya, 22 daerah lain masih belum memiliki dasar yang kuat untuk melindungi lahannya.

Kedua, tekanan pembangunan. Pertumbuhan industri, infrastruktur, dan perumahan membuat konversi lahan sulit dikendalikan, meskipun sudah ada aturan yang melarang. Ketiga, lemahnya pengawasan. Banyak alih fungsi lahan yang terjadi secara ilegal, sementara pengendaliannya tidak selalu konsisten.

Keempat, kepastian lahan cadangan pangan. Proses penyiapan LCPB membutuhkan koordinasi lintas sektor – pertanian, tata ruang, perumahan, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN). Proses ini kerap tersendat karena birokrasi yang rumit.

“Fraksi PDI Perjuangan mendorong agar perda ini tidak hanya menjadi dokumen, tetapi benar-benar dilaksanakan di lapangan. Pemprov harus lebih tegas, memberi sanksi kepada daerah yang lamban, sekaligus memberikan insentif bagi daerah yang progresif,” papar pria yang juga Wakil Sekretaris DPD PDI Perjuangan Jatim ini.

“Kami ingin hadir di tengah-tengah petani, mendengar keluh kesah mereka, dan memperjuangkannya dalam kebijakan daerah. Itu makna ‘membersamai petani’ yang sesungguhnya,” lanjut Hari.

Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji

Ia juga menegaskan bahwa kesejahteraan petani adalah ukuran keberhasilan pembangunan nasional. “Selama petani masih kesulitan pupuk, masih sulit menjual hasil panen dengan harga layak, maka tugas kita belum selesai. PDI Perjuangan berkomitmen memperjuangkan itu di parlemen,” jelasn politikus dari Dapil Sidoarjo.

Hari mencontohkan harga beras yang secara standar pemerintah dipatok Rp6.500 per kilogram. Namun fakta di lapangan, petani tidak mampu menjual dengan harga tersebut karena berbagai faktor distribusi dan penyerapan pasar, termasuk keterbatasan Bulog dalam menyerap gabah atau beras dengan harga yang layak.

“Dari persoalan ini, Fraksi PDI Perjuangan mendorong adanya kebijakan yang seksama dan cermat. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan. Petani harus tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik, sementara masyarakat tetap memperoleh harga pangan yang terjangkau,” tegasnya.

“Tanpa pangan, manusia tidak bisa hidup. Dan tanpa petani, pangan tidak akan ada. Karena itu, Fraksi PDI Perjuangan akan terus membersamai petani,” lanjut politisi dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sidoarjo ini.

Quote