Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono, minta pemerintah lebih transparan dan mengevaluasi dasar pengenaan pajak kendaraan.
Buleks sampaikan usai sejumlah warga mengadu ke Komisi B DPRD Surabaya terkait tingginya pajak kendaraan bermotor (PKB) yang dinilai tidak sebanding dengan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) maupun harga pasar riil.
Saat di Komisi B pada Kamis (2/10), ungkap Budi Leksono alias Buleks, banyak warga yang mempertanyakan mengapa pajak kendaraan tidak menyesuaikan dengan NJKB terkini dan harga pasar riil.
Baca: Ansari Sambut Positif Pengesahan UU Kementerian Haji dan Umrah
“Apalagi NJKB sering kali tidak diperbarui tepat waktu. Ini harus dijawab secara terbuka oleh pemerintah provinsi sebagai pengelola pajak kendaraan,” tegas Budi Leksono, dikutip Jumat (3/10/2025).
Legislator yang juga Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itu menambahkan, faktor regulasi daerah dan beban administrasi juga perlu ditinjau kembali. Selain pajak pokok, masyarakat masih dibebani SWDKLLJ, biaya penerbitan STNK, hingga plat nomor.
“Kalau semua digabung, wajar masyarakat merasa berat. DPRD akan mendorong agar ada perbaikan regulasi supaya pajak lebih adil dan rasional,” ujarnya.
Menurut Buleks, persepsi publik bahwa pajak kendaraan “tidak pernah turun” harus dijawab dengan kebijakan konkret.
“Pajak harus seimbang dengan kemampuan masyarakat dan nilai kendaraan. Kalau tidak, warga akan terus merasa diperas,” kata Buleks.
Sebelumnya, saat bertemu anggota Komisi B DPRD Surabaya, keluhan disampaikan warga terutama pemilik mobil tua. Mereka menilai pajak yang dibebankan tetap tinggi meski harga jual kendaraan mereka di pasaran sudah turun drastis.
“Mobil saya sudah berusia lebih dari 10 tahun, harga jualnya di pasaran jelas turun, tapi pajaknya tidak berkurang signifikan. Bahkan rasanya pajaknya tidak pernah turun,” kata seorang warga.
Berdasarkan aturan yang berlaku, dasar pengenaan PKB menggunakan NJKB yang ditetapkan pemerintah.
Baca: Meneguhkan Hari Kesaktian Pancasila
Namun, angka tersebut merupakan standar hasil survei harga pasar umum, bukan kondisi aktual tiap kendaraan. Hal ini menimbulkan selisih besar antara beban pajak dan harga riil kendaraan di pasaran.
Warga lainnya menyampaikan, kondisi kendaraan yang sudah tua atau pernah rusak juga tidak diperhitungkan. Seharusnya, kata dia, ada koreksi khusus, misalnya untuk kendaraan bekas yang nilainya sudah jauh menurun, agar beban pajaknya lebih proporsional.
Selain itu, warga juga mengeluhkan opsen dan pajak progresif. Bagi masyarakat yang memiliki lebih dari satu kendaraan, tarif pajak bisa berlipat ganda meski nilai kendaraan berikutnya jauh lebih rendah.
“Kebijakan progresif ini memang untuk menekan kepemilikan kendaraan berlebih, tapi kenyataannya justru membebani warga menengah,” ujar seorang warga.