Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus, secara tegas menyerukan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin kepala daerah dan anggota legislatif berdasarkan kualitas dan program pro-rakyat, bukan karena godaan politik uang.
Ia menekankan pemilihan yang didasarkan pada uang hanya akan menghasilkan wakil rakyat yang sibuk membayar utang, melupakan janji, dan mengabaikan kebutuhan masyarakat.
Seruan ini disampaikan Deddy Sitorus dalam kegiatan Sosialisasi dan Penguatan Pengawasan Partisipatif dalam Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerjasama dengan dirinya di Swissbel Hotel Kota Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), Minggu (5/10/25).
Acara yang dihadiri ratusan warga ini juga dihadiri Walikota Tarakan dr. Khairul, Anggota DPRD Kota Tarakan Rathna, serta jajaran Bawaslu Kota Tarakan.
Dalam pemaparannya, Deddy Sitorus menyoroti praktik politik uang sebagai akar kerusakan demokrasi yang paling parah. Ia menyebut pemilu sebelumnya sebagai pemilu yang paling rusak sepanjang Negara Republik Indonesia.
“Yang paling luar biasa itu adalah politik uang. Selama beberapa Pemilu ini, pemilih kita semakin bisa menerima bahwa yang namanya Pemilu nyoblos wani piro, ada bandrolnya, ada harga yang harus dibayar,” ungkap Deddy.
Dampak paling fatal dari praktik ini, menurutnya, adalah putusnya hubungan pertanggungjawaban antara wakil rakyat dan warga. Warga merasa sungkan menagih karena sudah merasa “akad” atau “beli putus” saat menerima uang.
“Di saat yang sama, mereka yang sudah diberi amanah jabatan publik tadi, kepalanya dipenuhi dengan bagaimana bayar utang, bagaimana mengembalikan harga yang harus dibayar untuk dapat kursi tadi. Maka enggak pernah ketemu itu, kebutuhan masyarakat di sini, kebutuhan anggota dpr nya atau walikota nya di sini,” tegas Deddy.
Deddy Sitorus kemudian memberikan contoh nyata dari perjuangan seorang wakil rakyat yang terpilih karena integritas, bukan karena uang.
Ia membandingkan uang politik yang diterima warga dengan nilai program pembangunan yang berhasil ia bawa ke Kaltara.
“Kita menerima Rp200.000 atau Rp1 juta itu berapa sih kalau dibagi 365 hari? Itu tidak sebanding. Saya bawa PIP, saya bawa ke Kaltara ini. Dulu listriknya di Kaltara tidak sampai 30%, hari ini 94%. Berapa banyak daerah yang saya bantu memperjuangkan anggaran untuk jalan raya, infrastruktur, pelabuhan, rumah sakit,” tanyanya.
Komitmen seperti itu, lanjutnya, membutuhkan perjuangan yang besar, mulai dari naik perahu kayu menyusuri sungai hingga berhari-hari menunggu di depan kantor menteri. Kemauan seperti itu hanya lahir jika ada ikatan batin yang kuat dan niat baik dari pemimpin.
“Kalau untuk kenyamanan, buat apa saya lakukan? Cukuplah saya duduk menikmati semua, nanti kita datang pemilu akan datang,” sindirnya.
Menutup sosialisasi, Deddy Sitorus mengajak seluruh warga Tarakan dan Kaltara untuk mengubah cara pandang saat Pemilu tiba. Ia meminta warga untuk mengesampingkan sentimen primordial dan fokus pada kualitas calon.
“Ketika datang harinya kita memberikan suara, jangan lihat tim yang datang tapi tanyakan dia mau buat apa buat kita, programnya apa,” pintanya.
Ia berharap, masyarakat mulai bergerak dan bercerita kepada keluarga dan tetangga agar pemilu mendatang diisi orang-orang yang memang punya niat untuk menjalankan amanah, mau berkeringat, dan meluangkan waktunya untuk menjawab persoalan-persoalan di masyarakat.
“Kalau kita mau berubah, kita harus sepakat, ini orang benar, bukan yang paling banyak duitnya,” tutupnya.