Ikuti Kami

Diah Sayangkan RKUHP Tak Sensitif Gender

Diah dengan tegas menyatakan menolak pengesahkan RKUHP di Rapat Paripurna yang rencananya digelar pada Selasa (24/9) mendatang.

Diah Sayangkan RKUHP Tak Sensitif Gender
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Diah Pitaloka.

Jakarta, Gesuri.id - Pemerintah dan DPR RI telah sepakat untuk melanjutkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke pembahasan tingkat II dalam Rapat Paripurna agar dapat segera disahkan menjadi undang-undang.

Meski demikian, rupanya RKUHP masih menimbulkan beragam polemik. Pro dan kontra pun terus bermunculan. Bahkan penolakan untuk segera disahkannya RKUHP pun muncul dari sesama anggota DPR RI. 

Baca: Setuju RKUHP Disahkan, PDI Perjuangan Beri Tiga Catatan

Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Diah Pitaloka dengan tegas menyatakan menolak pengesahkan RKUHP di Rapat Paripurna yang rencananya digelar pada Selasa (24/9) mendatang.

"Saya menolak (disahkannya RKUHP). Dan menurut saya bahaya juga bahas KUHP kebut-kebutan. Iya dong, itu kan komperhensif, itu kan luas," tegas Diah saat ditemui di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (20/9).

Bukan tanpa alasan Diah menolak RKUHP untuk segera disahkan, ia menilai hukum pidana nasional yang menggantikan Wetboek van Strafrecht warisan peninggalan kolonial Belanda itu tidak sensitif gender.

Diah lantas mencontohkan perluasan pada pasal zina yang bisa menjadi kontradiktif dan membuat RKUHP tak sensitif gender. Karena, jika diberlakukan bukan tidak mungkin berpotensi mengkriminalisasi orang yang menikah siri atau secara adat tidak dicatatakan secara negara atau catatan sipil.

"Orang kampung kan biasanya nikah amil, tapi legalitas negara surat nikah. Nah tuduhan kumpul kebo gimana? Nikah siri itu jadi bagian dari kehidupan masayarakat desa, secara negara itu tidak tercatat dalam catatan sipil. Itu bisa masuk pasal kumpul kebo enggak? Kan interpretasinya bisa luas," ucap dia.

Selain tak sensitif gender, Diah menilai RKUHP juga tak sensitif budaya. "Saya tidak bicara kumpul kebo itu budaya kita ya, tapi nikah siri itu bagian dari kehidupan masyarakat desa," tegasnya.

Diah lantas mempertanyakan turunan dan implikasi dari pasal zina. Menurutnya hal tersebut harus dieksplor, karena bisa berdampak bias di kejaksaan.

"Pasal kumpul kebo ini turunannya gimana, implikasinya gimana, ini harus dieksplor. nanti kejaksaan menerjemahkannya susah karena dia tetap bergerak dalam kerangka normatif negara. nikah siri kan ga ada surat nikah, apa boleh negara ga merecognize? ya itu perlu kebijakan-kebijakan," papar Diah.

Baca: DPR & Pemerintah Sepakat Bawa RKUHP ke Rapat Paripurna

"Aku sih pengennya RKUHP sensitif gender udah itu aja. Jangan sifatnya asal oke oke. Ini bukan untuk kita, ini untuk Indonesia," pungkasnya.

Berdasarkan catatan ICJR, pembahasan terbuka terakhir dilakukan oleh Pemerintah dan DPR pada 30 Mei 2018.

Artinya hampir 1,5 tahun, tidak ada pembahasan yang terbuka untuk diakses publik. 

Selain itu beberapa pasal juga dinilai tak sesuai dengan prinsip demokrasi, berpotensi memberangus kebebasan berpendapat, dan melanggar ranah privat warga negara

Beberapa substansi pasal yang dianggap masih bermasalah yakni, pasal kesusilaan, penerapan hukuman mati, tindak pidana makar, pasal warisan kolonial, pidana terhadap proses peradilan, tindak pidana khusus dan living law.

Dalam Pasal 419 tentang zina Ayat (1), setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II. Ayat berikutnya mengatur bahwa tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua atau anaknya. Pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orangtua, atau anaknya.

Mengenai hal ini, pandangan yang sama juga disampaikan oleh lembaga swadaya masyarakat Institute for Criminal Justice Reform. Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan adanya penambahan unsur Kepala Desa dalam pasal itu malah akan semakin memperlebar celah kesewenang-wenangan dalam urusan privasi warga negara.

Baca: Komisi III dan VIII DPR Sepakat Sinkronkan RKUHP dan RUU PKS

Sebelumnya, saat menyampaikan pandangan mini fraksi, partai berlambang banteng ini tegas memberi catatan meskipun bisa dilaporkan atau diadukan oleh pihak-pihak yang sudah diatur dalam RKUHP, namun Fraksi PDI Perjuangan tegas meminta agar tetap melindungi ruang pribadi.

"Namun demikian harus tetap melindungi ruang pribadi. Fraksi PDI Perjuangan meminta agar setelah kata keberatan dimasukan kata tertulis. Sehingga memberikan kejelasan terhadap kalimat tidak terdapat keberatan," papar anggota Komisi III DPR RI, M. Nurdin, Jakarta, Rabu (18/9).

Quote