Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengusulkan sejumlah perbaikan regulasi dalam sistem jaminan pensiun nasional.
Menurut Edy, langkah tersebut diperlukan guna memperluas cakupan kepesertaan, meningkatkan nilai manfaat, serta menjamin keberlanjutan pembiayaan program di masa depan.
"Harus ada pembaruan regulasi agar program ini benar-benar inklusif dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat yang layak bagi pekerja Indonesia," kata Edy dilansir dari ANTARA, Jumat (11/7).
Dalam aspek kepesertaan, legilator dari Dapil Jawa Tengah 3 itu mengusulkan revisi terhadap Pasal 39 hingga Pasal 42 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Baca: Ganjar Pranowo Belum Pastikan Maju Pada Pilpres 2029
Revisi regulasi tersebut menurutnya agar program Jaminan Pensiun (JP) dapat diakses seluruh pekerja, termasuk di sektor informal, serta mewajibkan pekerja mikro dan kecil untuk ikut serta.
Edy juga mendorong revisi Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN agar pemerintah dapat menanggung iuran JP bagi pekerja miskin dan tidak mampu.
Dia menekankan pentingnya penerbitan segera Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari Pasal 23 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN untuk mengatur pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi aparatur sipil negara (ASN) melalui BPJS Ketenagakerjaan, termasuk JP bagi ASN.
"Ini penting agar keberlangsungan kepesertaan tetap terjaga ketika seseorang berpindah status dari pekerja swasta ke ASN, atau sebaliknya," tegas Edy.
Dalam hal manfaat, dia mengusulkan peningkatan koefisien perhitungan manfaat dalam Pasal 17 ayat (2) PP tentang JP dari satu persen menjadi 1,33 persen.
"Langkah ini merujuk pada Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang merekomendasikan manfaat minimal 40 persen dari upah terakhir dengan masa iuran 30 tahun," kata dia.
Edy juga menambahkan agar manfaat pensiun bagi ahli waris peserta meninggal atau peserta yang mengalami cacat total tetap ditetapkan minimal 1,5 kali dari garis kemiskinan, mengingat saat ini nilai manfaat masih berada di bawah ambang tersebut.
"Pemerintah juga harus segera meningkatkan iuran JP agar program tidak mengalami defisit keuangan. Ini bagian dari memastikan keberlanjutan dana pensiun nasional," ujar Edy.
Untuk mendukung kepatuhan dan transparansi, Edy mengusulkan agar pengawas pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan diberikan kewenangan pemeriksaan langsung dengan dukungan pengawas ketenagakerjaan dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Dia juga mendorong kajian menyeluruh terhadap kemungkinan konsolidasi antara JP, Jaminan Hari Tua (JHT), dan kompensasi PHK menjadi satu sistem tabungan hari tua nasional yang terdiri dari akun manfaat pasti dan pembayaran lumpsum.
Sementara itu, Executive Director Lembaga Arunala Indonesia Dyah Larasati mendorong penguatan komitmen lintas pemangku kepentingan untuk membangun sistem jaminan pensiun yang besar, inklusif, dan berkelanjutan di tengah masih rendahnya cakupan perlindungan hari tua.
"Isu aging (penuaan) sama isu jaminan hari tua atau jaminan pensiun itu sudah cukup lama dan memang sebenarnya ada banyak alasan yang melatarbelakangi kenapa masih sangat kecil," kata Dyah di Jakarta, Kamis.
Dyah menjelaskan hingga kini jumlah pekerja formal yang terdaftar dalam program jaminan pensiun masih sekitar 14 juta orang atau 37 persen dari total angkatan kerja formal.
Sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal yang tidak otomatis terdaftar dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
"Sebagian dari mereka bahkan tidak mengetahui adanya program ini. Literasi dan kesadaran terhadap pentingnya menyiapkan hari tua masih sangat rendah," katanya.
Menurut Dyah, sebagian pekerja informal dari kalangan menengah ke atas mungkin memilih asuransi pribadi, sementara kelompok bawah kerap tidak memiliki kemampuan finansial untuk berkontribusi secara rutin.
"Isu kemampuan finansial ini jadi tantangan tersendiri. Banyak dari mereka yang penghasilannya terbatas, sehingga menabung untuk hari tua bukan menjadi prioritas," ujar Dyah.
Dyah juga menyoroti rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem asuransi akibat sejumlah kasus gagal bayar, seperti Jiwasraya dan Asabri yang turut memperburuk partisipasi masyarakat dalam program jaminan pensiun.
Dia menilai perlu adanya kampanye literasi dan sosialisasi yang masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Pemerintah juga didorong memberikan insentif kepada pekerja informal, seperti menambahkan Rp 20 ribu untuk setiap Rp 20 ribu iuran peserta.
"Sektor informal kita sangat besar dan didominasi oleh pekerja dengan penghasilan rendah," ungkap Dyah.
Dyah menyarankan agar skema iuran dibuat fleksibel, seperti opsi pembayaran bulanan atau triwulanan disesuaikan dengan kondisi fluktuatif sektor informal.
Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Untuk Berhati-hati
Menurut Dyah, pembangunan sistem jaminan pensiun menjadi semakin mendesak seiring tren demografi menuju masyarakat menua.
Dia mencontohkan negara-negara seperti Jepang dan Eropa yang telah lebih dari seabad menjalankan sistem pensiunnya.
"Kita akan menghadapi struktur penduduk menua dalam 20-30 tahun ke depan. Saat ini ada sekitar 33 juta lansia, dan diperkirakan akan mencapai 65 juta pada 2045. Tanpa sistem yang kuat, beban ekonomi terhadap generasi produktif akan sangat berat," ungkap Dyah lagi.
Dyah juga menekan pentingnya kolaborasi dari sisi literasi publik, insentif, hingga dukungan fiskal dan regulasi.
Dia mengingatkan jika tidak disiapkan sejak sekarang, risiko sosial dan ekonomi di masa depan akan sangat besar.
"Harapannya semakin banyak masyarakat yang mulai menabung dan menyadari pentingnya jaminan hari tua sebagai bagian dari perlindungan sosial jangka panjang," pungkas Dyah.