Jakarta, Gesuri.id – Praktisi hukum Febri Diansyah memperingatkan ancaman besar terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi akibat penggunaan norma-norma hukum yang bersifat abstrak (pasal karet) oleh aparat penegak hukum. Ia menyampaikannya dalam Seminar Nasional refleksi Hari Antikorupsi Sedunia di Kantor PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (9/12).
“Pemberantasan korupsi bisa berubah menjadi alat kepentingan politik jika aparat memegang kewenangan yang terlalu besar tanpa akuntabilitas,” tegas Febri.
Ia menguraikan dalam sejumlah regulasi, termasuk KUHAP yang berlaku mulai Januari 2026, terdapat pasal-pasal yang memberikan ruang diskresi sangat luas bagi penyidik. Misalnya, penyitaan dan penggeledahan yang dapat dilakukan hanya berdasarkan ‘penilaian penyidik’.
“Siapa yang bisa mengontrol penilaian itu? Ini sangat rentan menjadi abuse of power,” ujar Febri.
Ia menghubungkan persoalan norma abstrak ini dengan fenomena ilusi pemberantasan korupsi. Penegak hukum seolah bekerja keras dengan menangkap banyak individu, tetapi tidak menyentuh akar institusional yang memungkinkan korupsi terjadi secara berulang.
Dalam penjelasannya, Febri merujuk teori institutional corruption, yang menyatakan bahwa masalah korupsi tidak berhenti pada pelakunya, tetapi pada struktur, regulasi, dan komposisi kekuasaan yang membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Untuk mendukung argumennya, Febri menyinggung salah satu putusan pengadilan yang menunjukkan betapa lenturnya penafsiran pasal korupsi. Ia menyebut fakta persidangan dalam kasus yang melibatkan direksi BUMN, di mana hakim mengakui tidak adanya keuntungan pribadi dan menyimpulkan perbuatan terdakwa sebagai “kelalaian berat” alih-alih kesengajaan—padahal unsur korupsi membutuhkan niat jahat atau mens rea.
“Di situ kita melihat betapa pasal yang lentur bisa berdampak pada ketidakpastian hukum dan bahkan potensi kriminalisasi,” kata Febri.
Lebih jauh, Febri menekankan bahwa pembenahan regulasi yang kabur harus menjadi agenda prioritas nasional. Ia menegaskan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi bukan diukur dari banyaknya orang yang ditangkap, tetapi dari sejauh mana institusi negara kuat, demokratis, dan mampu mencegah korupsi sejak awal.
“Kalau norma abstrak terus berkuasa, maka kita sedang mengundang bahaya. Demokrasi melemah, penegakan hukum meleset, dan tujuan keadilan sosial tidak akan pernah tercapai,” ujar Febri.
Febri menyerukan langkah koreksi total terhadap regulasi, tata kelola penegakan hukum, serta evaluasi strategi pemberantasan korupsi. “Jika tidak, kita hanya akan menghasilkan pemberantasan korupsi yang cepat, ramai, tetapi salah arah.”

















































































