Ikuti Kami

Harris Desak BPKN Awasi Lebih Serius Bekerja

Lebih serius mengawasi kasus cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) terhadap produk farmasi. 

Harris Desak BPKN Awasi Lebih Serius Bekerja
Anggota Komisi VI DPR RI Harris Turino.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI Harris Turino mendesak Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk lebih serius mengawasi kasus cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) terhadap produk farmasi. 

Sebab, bukan tidak mungkin cemaran EG dan DEG juga bisa mencemari produk pangan yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding obat-obatan.

Harris mengatakan bahwa yang menarik dalam kasus tersebut, baru saat ini ditemukan kasus cemaran EG dan DEG terhadap obat, khususnya sirup demam untuk anak. Ia menduga perusahaan farmasi tidak sengaja menggunakan EG dan DEG. Padahal, biasanya industri menggunakan polyethylene glycol (PEG) dan propylene glycol (PG).

Baca: Yeremia: Kasus Gagal Ginjal Akut Harus Jadi Atensi Bersama

"Jangan-jangan dulu memang murni PG, tapi sekarang PG yang tercemar EG dan DEG karena perbedaan harga yang cukup nyata," ujar Harris dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/11).

Politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini menjelaskan, harga PG saat ini Rp34.000- Rp36.000 per kilogram (kg), sedangkan harga EG hanya berkisar Rp7.000-Rp8.000 kg. 

Bentuk kemasannya pun berbeda, lanjut dia, kalau PG beratnya 215 kg sementara EG 225 kg.

"Jadi kalau misalkan ada oknum yang nakal mencampur ini, keuntungannya cukup besar. Dari selisih harga saja itu keuntungannya 5-7 juta dengan melakukan mixing ini. Karena, saya yakin tidak ada satupun perusahaan farmasi Indonesia yang dengan sengaja gunakan EG, bunuh diri kalau dia pakai itu. Tapi dia beli dari suppliernya, dan suppliernya ini yang nakal," tutur Harris.

Dengan disparitas harga yang jauh tersebut, dia mengatakan pemerintah khususnya BPKN mesti mewaspadai, pelarut EG dan EDG masuk ke industri makanan. Sebab, bahan pelarut ini masuk sebagai bahan kimia pada umumnya atau nonlarangan terbatas. Selain itu, Harris juga meminta agar BPKN juga mengawasi proses hukum dari kasus cemaran EG dan DEG tersebut. Sebab, salah satu pemasok-nya berasal dari Thailand yakni Dow Chemicals.

"Saya tidak tahu apakah kepolisian Indonesia bisa menelusuri mixing ini sengaja dilakukan di luar negeri atau di dalam negeri, misalkan, ada distributor nakal yang melakukan hal ini. Menurut saya, perlu diwaspadai sekali adalah pelarut ini juga dijual pada industri makanan. Sehingga harus jadi catatan. Kalau ini ke pangan dampaknya bisa gede sekali," ungkapnya.

Baca: Elva Krtisi BPOM yang Pasif Dalam Pengawasan Obat

Lebih lanjut, dia juga menduga peraturan dalam E-Katalog yang berdampak pada industri harus menekan biaya produksinya agar dapat memenangi tender pengadaan obat. Akibatnya, lanjut dia, industri farmasi bisa saja memilih pemasok yang tidak diketahui kredibilitasnya.

Dia mencontohkan salah satu perusahaan yang tercemar produknya yakni PT Afi Farma merupakan pemenang E-Katalog. 

"Afifarma adalah pemenang E-Katalog. Menekan harga, menekan produksi akhirnya bisa akibatnya supplier menawarkan PG dengan harga murah tapi supliernya tidak jelas, bisa diambil untuk menekan harga agar masuk ke e-katalog. Maka, ini bisa menjadi catatan bagi BPKN dalam e-katalog bukan hanya harga tetapi kualitas dan reputasi perusahaan farma," kata Politisi Dapil Jawa Tengah IX ini.

Quote