Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi XI DPR RI Harris Turino menyoroti tingginya inflasi dari volatile food di Jawa Timur yang tercatat berada di atas 5 persen.
Menurutnya, angka inflasi yang tinggi tersebut perlu menjadi perhatian serius, terlebih menjelang periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang kerap memicu lonjakan kebutuhan masyarakat.
Diketahui, volatile food adalah inflasi atau harga pangan yang bergejolak, dipicu oleh berbagai faktor seperti musim panen, gangguan alam, dan perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional. Contohnya adalah kenaikan harga cabai merah dan telur ayam ras yang sering menjadi penyumbang inflasi, serta fluktuasi harga komoditas lain seperti bawang merah dan daging ayam ras.
Baca: Ganjar Pranowo Tekankan Pentingnya Kritik
Harris menilai berbagai program peningkatan produktivitas yang dipaparkan Bank Indonesia belum terlihat menyeluruh di seluruh wilayah. Hal tersebut disampaikannya saat Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XI DPR RI dalam rangka memantau pengendalian inflasi di daerah,ke Surabaya, Jawa Timur, Jumat (14/11/2025),
“Untuk Jawa Timur ini ada temuan yang menarik ya, bahwa inflasi untuk volatile food ini di atas 5 persen. Ini satu angka yang cukup tinggi, walaupun tadi Bank Indonesia sudah memaparkan banyak program-program yang dilakukan,” ujar Harris.
Harris menyoroti salah satu program klaster peningkatan produktivitas yang dilaporkan Bank Indonesia, khususnya terkait peningkatan produktivitas padi di Kabupaten Ngawi dari 5,5 ton menjadi 8,3 ton per hektare. Namun, ia menilai penyajiannya belum cukup komprehensif.
“Yang jadi persoalan adalah Bank Indonesia hanya memaparkan kenaikan produktivitas padi di satu daerah, yaitu Ngawi. Daerah lain seperti apa datanya? Lalu, berapa persentase dari seluruh luas tanam yang sudah tersentuh program BI? Angkanya kemungkinan masih kecil, sehingga ini menjadi catatan,” tegasnya.
Terkait kesiapan menghadapi momentum Nataru, Harris menekankan pentingnya langkah antisipatif yang lebih konkret. Menurutnya, kebijakan generik tidak cukup untuk menghadapi potensi gangguan pasokan atau cuaca ekstrem yang dapat memicu gejolak harga.
"Ini menjelang Nataru. Antisipasinya seperti apa supaya volatile goods bisa dijaga? Jangan hanya hal-hal generik. Kalau terjadi gangguan pasok atau cuaca, harus ada langkah yang jelas,” kata Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Meski data pemerintah menunjukkan stok pangan berlimpah, Harris menilai kondisi di lapangan tidak mencerminkan hal tersebut. Harga beras, ungkapnya, justru terus mengalami kenaikan.
“Padahal kelihatannya stok berlimpah. Faktanya harganya naik terus. Harga beras sudah di atas Rp12.800. Walaupun data Kementerian Pertanian menyebut kita kelebihan dan bahkan akan impor, di banyak daerah justru mengalami kekurangan,” jelasnya.
Baca: Ganjar Ingatkan Anak Muda Harus Jadi Subjek Perubahan
Harris menyampaikan bahwa Komisi XI akan mempelajari lebih lanjut temuan-temuan tersebut sebagai bahan untuk merumuskan solusi. Ia menekankan pentingnya pemerataan distribusi jika pasokan memang tersedia.
“Nanti kita akan pelajari dan kita akan bicara mencari solusinya. Kalau memang pasokannya lebih, posisinya ada di mana? Apakah ada di Bulog atau di mana? Distribusinya harus merata,” ujar Harris.
Lebih lanjut, ia menilai operasi pasar bukan kebijakan yang mampu memberikan stabilisasi jangka panjang. Kebijakan tersebut, menurutnya, hanya menurunkan harga sementara di lokasi tertentu.
“Operasi pasar hanya memadamkan ketegangan sesaat dan hanya lokal di satu daerah. Kalau yang sifatnya sustainable, itu tidak bisa dilaksanakan hanya dengan operasi pasar,” pungkas Harris

















































































