Jakarta, Gesuri.id - Rencana nama Bapak Bangsa sekaligus tokoh sekuler Turki, Mustafa Kemal Ataturk, dijadikan nama jalan di DKI Jakarta menuai kontroversi.
Sebagian kalangan seperti PKS, MUI dan Bamus Betawi menolak keras penggunaan nama Kemal Attaturk sebagai nama jalan di Jakarta. Rekam jejak sekularisasi Turki oleh Ataturk, menjadi dasar penolakan mereka.
Sedangkan sebagian kalangan lain, menilai penggunaan nama Ataturk sebagai nama jalan di Jakarta bisa diterima. Anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak menilai penggunaan nama Mustafa Kemal Ataturk sebagai nama jalan di DKI, merupakan bentuk diplomasi antarnegara Republik Indonesia dan Turki.
Baca: Ganjar Berupaya Terus Kurangi Angka Selisih "Backlog"
"Ini adalah murni persoalan diplomasi dan hubungan baik antarnegara, dan tidak ada kaitan dengan unsur-unsur lain dan tidak ada unsur SARA,” kata Gilbert, baru-baru ini.
Terlepas dari kontroversi terkait nama jalan tersebut, maupun tentang sosok Ataturk sendiri, faktanya Mustafa Kemal Ataturk adalah salah satu tokoh yang menjadi inspirasi Presiden RI pertama, Soekarno atau Bung Karno.
Dalam buku kumpulan tulisannya berjudul 'Di Bawah Bendera Revolusi', Sukarno mengungkapkan bahwa dirinya terpukau oleh gerakan pembaharuan di Turki yang dipelopori oleh Kemal Ataturk, setelah menghapuskan kekhilafahan teokrasi Turki Ottoman.
Dimata Bung Karno, Ataturk berhasil menciptakan konsep nasionalisme modern di Turki. Nasionalisme Turki inilah yang menjadi salah satu "bahan baku" pemikiran Sukarno soal konsep nasionalisme Indonesia.
Tak hanya terpukau pada pemikiran Ataturk, buku Di Bawah Bendera Revolusi juga memuat pembelaan
Bung Karno terhadap Ataturk, dari stigma 'anti Agama'. Dengan menampilkan sejumlah referensi, Bung Karno menyanggah Mustafa Kemal Attaturk anti agama.
"Orang mengatakan Turki adalah anti-Islam. Padahal, menurut Frances Woodsmall, Turki sekarang antikolot, anti soal-soal lahir dalam beribadat, tetapi tidak anti-agama," demikian ditulis Bung Karno dalam buku legendaris tersebut.
Menurut Proklamator Kemerdekaan Indonesia itu, para pemimpin Turki waktu itu justru ingin menyuburkan Islam dengan memisahkan negara dan agama.
Bung Kano menyebut Turki Modern berbeda dengan Rusia atau Uni Soviet yang anti agama. Namun, Turki modern juga berbeda dengan Ottoman yang menyatukan negara dan agama.
Turki modern adalah sebuah negara yang memisahkan agama dengan negara. Negara tak lagi ikut campur dengan persoalan agama.
Nasionalisme ala Ataturk memang mempengaruhi pemikiran Soekarno dalam mengkonsepsikan Indonesia seperti saat ini. Indonesia menjadi negara yang berlandaskan Pancasila, bukan berdasarkan pada agama tertentu.
Namun, Bung Karno juga tidak 'menjiplak' sepenuhnya pemikiran maupun kebijakan Kemal Ataturk di Turki. Hal itu tampak dari tidak dijadikannya Indonesia sebagai negara sekuler sebagaimana Turki.
Baca: Aria Bima: Menpora Banyak Prestasi Kok Malah Dimaki-maki
Ideologi Pancasila yang digali oleh Bung Karno, tidak meminggirkan nilai-nilai agama. Bahkan, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama Pancasila. Negara pun tidak terpisah sama sekali dari urusan-urusan keagamaan.
Jadi Indonesia berdasarkan Pancasila, yang dirancang oleh Bung Karno bukanlah negara sekuler sebagaimana Turki yang dirancang Kemal Attaturk.
Namun, Indonesia bukan juga seperti Turki Ottoman yang secara resmi menjadikan agama (Islam) sebagai dasar kehidupan bernegara.