Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua DPD Repdem Jakarta yang juga Peneliti Kebijakan Publik Dr. Bonatua Silalahi menyoroti proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh yang semula digadang sebagai bentuk pelayanan publik, namun pada kenyataannya dijalankan dengan pola business-to-business (B2B) antara konsorsium BUMN dan perusahaan Tiongkok.
Menurutnya, kebijakan ini menyimpang dari prinsip pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009) dan prinsip keterbukaan serta akuntabilitas yang termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres/54/2010).
“Whoosh seharusnya ditetapkan sebagai penugasan pelayanan publik, bukan proyek bisnis. Negara tidak boleh mengkomersialkan pelayanan yang menjadi hak warga,” tegas Bonatua Silalahi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/11).

Ia menambahkan keputusan politik yang mendahului legitimasi hukum telah menimbulkan salah formulasi kebijakan (policy misformulation), sebagaimana dijelaskan melalui kerangka teori Thomas R. Dye dan William N. Dunn yang digunakan dalam risetnya.
Dalam kesimpulannya, Bonatua menilai proyek Whoosh harus dikembalikan pada misi negara, bukan dibiarkan sebagai proyek korporasi yang membebani fiskal lintas generasi.
Ia mengusulkan enam langkah korektif kebijakan, di antaranya: penerapan tarif sosial (Public Service Obligation), audit independen, keterbukaan fiskal, dan diversifikasi pembiayaan berbasis obligasi hijau (green bonds).
“Kita tidak anti investasi asing, tapi jangan sampai semangat pelayanan publik dikaburkan oleh logika bisnis. Tanggung jawab sosial negara tidak boleh tergadai oleh skema utang jangka panjang,” ujar Bonatua dengan tegas.
Bagi Bonatua, pembahasan Whoosh bukan semata kritik ekonomi, melainkan refleksi atas arah kebijakan negara dalam melayani rakyat.
Ia menegaskan bahwa setiap proyek strategis nasional harus menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan, bukan sekadar objek pembangunan.
“Pelayanan publik adalah wujud nyata nasionalisme modern. Ia bukan slogan, melainkan praktik keberpihakan negara kepada rakyat,” pungkasnya.
















































































