Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menyoroti penanganan persoalan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) agar tidak hanya berorientasi pada penyelamatan proyek, melainkan menjadi momentum pembenahan sistem transportasi nasional dan tata kelola BUMN.
Rieke menilai, pendekatan yang terlalu fokus pada penyelamatan proyek justru berisiko menambah beban keuangan bagi perusahaan pelat merah yang sudah dalam kondisi restrukturisasi. Ia mendorong agar pemerintah mengambil langkah yang lebih komprehensif dengan menata ulang strategi pendanaan dan arah pembangunan sektor perkeretaapian.
“Pemerintah harus hati-hati. Jangan sampai solusi penyelamatan proyek justru menjerumuskan BUMN lain yang sedang restrukturisasi. Utang Whoosh ini harus diselesaikan dengan pandangan strategis, bukan sekadar menambal defisit,” ujar Rieke, Minggu (9/11/2025).
Menurutnya, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tidak bisa memikul beban utang secara sepihak karena proyek ini dibangun melalui konsorsium antara China Railway dan empat BUMN besar: PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Wijaya Karya (WIKA) Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
Rieke menjelaskan, dua di antaranya, WIKA dan PTPN, tengah menjalani proses restrukturisasi sehingga tak mungkin menanggung beban tambahan dari bunga utang Whoosh. Bahkan, kata dia, bunga tersebut akan berubah menjadi beban pokok pada 2028.
"Jasa Marga pun belum bisa mengambil keputusan karena menunggu langkah pemerintah. Ini harus diperhitungkan matang," jelasnya.
Ia juga meminta publik menghentikan stigma negatif terhadap proyek Whoosh sebagai “proyek gagal” atau “proyek busuk”. Menurutnya, sikap tersebut tidak menyelesaikan masalah dan justru mengaburkan upaya mencari solusi.
"Kita harus keluar dari perdebatan yang tidak produktif. Fokusnya bagaimana proyek ini bisa menjadi bagian dari sistem transportasi nasional yang efisien dan berkelanjutan," tegasnya.
Rieke menegaskan pentingnya restrukturisasi dan renegosiasi utang secara menyeluruh. Ia mengingatkan bahwa nilai total kewajiban proyek yang mencapai Rp116 hingga Rp118 triliun tidak bisa dipandang semata sebagai beban, melainkan peluang untuk menata ulang arah pembangunan infrastruktur transportasi Indonesia.
“Restrukturisasi bukan hanya untuk menyelamatkan Whoosh. Ini tentang menyelamatkan masa depan perkeretaapian nasional agar dapat menopang ekonomi rakyat dan memperkuat konektivitas antarwilayah,” tuturnya.

















































































