Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Putra Nababan menyoroti pentingnya keberpihakan nyata pemerintah terhadap industri tekstil nasional. Meskipun industri tekstil berkontribusi besar terhadap penyerapan lapangan kerja, perhatian yang diberikan pemerintah masih jauh dari memadai.
Putra Nababan menekankan bahwa keberpihakan pemerintah di lapangan harus terlihat jelas, bukan sekadar tercantum dalam UU sebagai formalitas.
"Jadi kalaupun UU nya nanti ada keberpihakan di lapangan harus terang benderang dan nyata. Karena kalau UU tidak ada keberpihakannya itu hanya menjadi lembar negara doang," katanya dalam Rapat Pleno Baleg RUU Pertekstilan di Badan Legislasi DPR di Jakarta, Senin (26/5).
Baca: Ganjar Beberkan Penyebab Kongres PDI Perjuangan Belum Digelar
Seperti diketahui industri tekstil di Indonesia punya banyak sekali permasalahan. Mulai dari maraknya impor garmen dan tektil, mahalnya tarif listrik di dalam negeri, tertinggalnya teknologi mesin perusahaan tekstil di Indonesia, kesulitan bahan baku Polyester Fiber hingga kesulitan mendapatkan kredit perbankan.
Beragam tantangan tersebut membuat industri tekstil tidak mampu berkembang dengan baik dan cenderung babak belur. Bahkan mesin-mesin tekstil yang terpasang di industri saat ini sudah banyak yang usang dan butuh diremajakan karena sudah ketinggalan jaman.
Dengan kondisi mesin yang ada saat ini membuat industri tekstil semakin sulit bersaing dengan produk tekstil dari China dan India. Belum lagi dengan tarif listrik industri dalam negeri yang juga kompetitif. Bandingkan dengan Provinsi Sichuan dan Xinjian yang memiliki tarif listrik Rp 500-700/kwh. Sedangkan tarif listrik di Indonesia itu Rp 1035-1553/kwh.
"Industri tekstil kayak dibutuhkan tapi tidak diperhatikan. Diserap tenaga kerjanya tapi tidak ada keberpihakan. Listriknya juga tidak dibantu. Impor garmen dibiarkan, produk kita diinjek injek. Peremajaan mesin juga tidak dibantu," katanya.
Belum lagi persoalan bahan baku Polyester Staple Fiber (PSF) yang antara kebutuhan dan pasokanya tidak seimbang. Permintaan (demand) PSF mencapai 700.000 mta. Sedangkan pasokannya (supply) hanya sekitar 300.000 mta. Sedangkan produksi PSF hanya dilakukan 4 perusahaan di Indonesia dengan 2 perusahaan diantaranya sudah tutup. "Sekarang kebutuhan berapa, supply berapa? Jomplang. Habis kan Pak! tegas Putra kepada perwakilan asosiasi saat rapat.
Sementara itu, pengusaha tekstil DK Galvanker dari India, Diki Sumitra membenarkan pernyataan tersebut. Sumitra adalah pengusaha berusia 78 tahun yang sudah lebih dari 40 tahun menjalankan pabrik tekstil. Dia mengaku 10 tahun terakhir industri tekstil babak belur.
Baca: Ganjar Tekankan Pentingnya Loyalitas Kepala Daerah
"Kami disini datang bukan bahas masalah. I'm here to give you solution to save our industry. Tahun 1979 saya membangun perusahaan. Tahun 1980 waktu saya di luar negeri saya dengar Bandung itu Manchesternya Indonesia. Bangga juga saya. Ratusan ribuan pekerja diserap. Sekarang susah. Hari ini sudah banyak yang kita copotin pekerjanya," katanya.
Sumitra kemudian berharap agar nantinya RUU Pertekstilan yang akan dibahas di DPR adalah untuk melindungi industri tekstil 100 persen. Apalagi industri tekstil menyerap ribuan tenaga kerja dengan nilai investasi hingga miliaran rupiah. Pemerintah juga harusnya lebih banyak memberikan kemudahan kepada industri textile dalam berbisnis di Indonesia.
Dengan RUU Pertekstilan yang akan dibahas intensif tersebut, harapannya adalah adanya langkah konkret dari pemerintah, baik dalam bentuk regulasi yang tegas, insentif bagi produsen lokal, serta perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan tenaga kerja agar industri tekstil Indonesia mampu bersaing di pasar global.