Ikuti Kami

Rapidin Simbolon Pertanyakan Langkah Gegabah Kementerian Hukum dan HAM

Perusakan rumah singgah yang terjadi merupakan bentuk nyata intoleransi, yang tidak bisa disederhanakan sebagai persoalan miskomunikasi.

Rapidin Simbolon Pertanyakan Langkah Gegabah Kementerian Hukum dan HAM
Anggota Komisi XIII DPR RI Rapidin Simbolon.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi XIII DPR RI Rapidin Simbolon, mempertanyakan langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang menyatakan siap menjadi penjamin bagi tujuh orang tersangka dalam kasus perusakan rumah singgah yang digunakan untuk kegiatan retret pelajar Kristen di Sukabumi, Jawa Barat.

Menurut Rapidin, sikap Kemenkumham tersebut justru berpotensi mencederai rasa keadilan publik serta dianggap tidak menunjukkan keberpihakan terhadap korban. Ia menilai, perusakan rumah singgah yang terjadi merupakan bentuk nyata intoleransi, yang tidak bisa disederhanakan sebagai persoalan miskomunikasi di tingkat masyarakat.

“Tindakan pelaku perusakan jelas-jelas didasari sikap intoleransi, yang secara terang menyalahi nilai-nilai Pancasila dan mengancam tatanan kebangsaan serta semangat Bhinneka Tunggal Ika. Ini bukan sekadar tindak kriminal biasa,” kata Rapidin dalam pernyataan tertulis, Senin (7/7).

Baca: Ganjar Pranowo Ajak Kepala Daerah Praktek Pancasila

Pernyataan Rapidin tersebut merespons langkah resmi yang disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM, Thomas Harming Suwarta, pada Kamis (3/7/2025). Dalam kunjungannya ke Pendopo Kabupaten Sukabumi, Thomas menyatakan bahwa pihaknya akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan bagi tujuh tersangka kepada kepolisian.

“Kami siap dari Kementerian HAM untuk memberikan jaminan agar para tujuh tersangka kami lakukan penangguhan penahanan dan ini (permintaan penangguhan penahanan) kami akan sampaikan secara resmi kepada pihak kepolisian," ujar Thomas.

Ia menambahkan bahwa insiden perusakan yang terjadi berawal dari kesalahpahaman di tengah masyarakat, sehingga perlu pendekatan yang bijak agar tidak menimbulkan ketegangan sosial yang lebih besar. 

“Saya pikir kita sama-sama tahu bahaya dari mispersepsi dan miskomunikasi ini di masyarakat,” katanya.

Namun, pandangan tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan. Rapidin menilai pendekatan yang dilakukan oleh Kemenkumham justru berisiko menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

“Sikap pelaku merupakan pelanggaran HAM, maka seharusnya Kemenkumham berdiri bersama korban, bukan mendampingi pelaku. Jangan sampai publik menilai negara justru melindungi pelaku intoleran,” tegas Rapidin.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa langkah Kemenkumham ini berpotensi menjadi titik kelam dalam sejarah penegakan HAM di tanah air. Ia pun mendesak agar kementerian dan lembaga negara menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap prinsip keadilan, kemanusiaan, serta perlindungan terhadap kelompok rentan yang menjadi korban intoleransi.

“Ini preseden terburuk yang dilihat rakyat sejak keberadaan Kemenkumham. Jika tidak disikapi serius, maka penegakan HAM di Indonesia akan memasuki masa paling gelap karena negara sendiri yang menjadi pelaku pelanggaran HAM,” ungkapnya.

Baca: Ganjar Isi Pelatnas Tim Pilkada PDI Perjuangan

Rapidin juga mengingatkan pentingnya menjaga netralitas institusi negara dalam menyikapi kasus-kasus sensitif yang menyangkut hak-hak sipil dan kebebasan beragama. Ia khawatir, jika sikap ambigu seperti ini dibiarkan, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan pemerintah akan terus menurun.

“Sikap ambigu dari Kemenkumham dalam kasus ini sangat disayangkan. Rakyat tentu akan mempertanyakan, di pihak mana negara sebenarnya berdiri?” ujar mantan Bupati Samosir itu.

Sebelumnya, peristiwa perusakan terjadi pada Jumat (27/6/2025) di Kampung Tangkil RT 4 RW 1, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Sekelompok warga mendatangi sebuah vila yang digunakan untuk kegiatan retret oleh pelajar Kristen. Diduga karena salah persepsi bahwa vila tersebut digunakan untuk kegiatan ibadah yang dianggap menyimpang, warga melakukan perusakan terhadap fasilitas vila, termasuk pagar dan kendaraan.

Pihak kepolisian kemudian menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam peristiwa tersebut. Kasus ini pun menjadi perhatian publik dan berbagai kalangan masyarakat sipil karena dinilai sebagai bentuk intoleransi terhadap kebebasan beragama dan kegiatan keagamaan yang sah di Indonesia.

Quote