Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi ll DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menilai Indonesia hingga kini belum berhasil membangun fondasi industrialisasi yang kuat dan berkelanjutan.
Penilaian tersebut disampaikannya dalam Kunjungan Kerja Baleg DPR RI terkait pembahasan revisi Undang-Undang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Kantor Kadin Jawa Timur, Surabaya.
“Ada uang ratusan triliun dari Hong Kong ditawarkan ke Indonesia, tapi semuanya angkat tangan. No thank you. Kita gagal,” kata Deddy dikutip Senin (22/12/2025).
Menurut politisi PDI Perjuangan tersebut, rendahnya minat investor global mencerminkan kegagalan Indonesia dalam membangun iklim industrialisasi yang menarik dan kompetitif.
Ia menambahkan kondisi ekonomi nasional saat ini justru menunjukkan gejala deindustrialisasi yang semakin masif, sementara kebijakan pembangunan masih terlalu bertumpu pada sektor industri ekstraktif yang minim nilai tambah jangka panjang.
Dalam konteks revisi UU Kadin, Deddy menekankan perlunya refleksi mendalam mengenai arah dan fungsi Kadin ke depan. Menurutnya, harus ada kejelasan apakah Kadin hanya berperan sebagai fasilitator akses usaha dan penciptaan lapangan kerja, atau justru menjadi instrumen strategis pembangunan ekonomi nasional.
“Tanpa swasta, negara pasti timpang. Tapi Kadin ini mau jadi apa? Kalau kita tidak punya imajinasi bersama, sulit membayangkan bagaimana potongan-potongan ini disatukan dalam Undang-Undang Kadin,” ucapnya.
Deddy juga menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2005 yang menolak uji materi Pasal 4 UU Kadin terkait kedudukan Kadin sebagai wadah tunggal organisasi pengusaha. Menurutnya, konsep wadah tunggal tersebut sudah semestinya dikaji ulang dengan mengacu pada praktik kelembagaan di negara lain.
“Apakah wadah tunggal ini harus dikekalkan selamanya? Apakah bentuknya federasi, konfederasi, atau model lain yang lebih relevan dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara?” ujarnya.
Selain itu, ia mengkritik pola sentralisasi dalam struktur Kadin yang dinilai membuat daerah terlalu bergantung pada pusat dan belum sepenuhnya merepresentasikan kepentingan ekonomi sektoral.
Deddy juga mempertanyakan manfaat konkret dari berbagai perjanjian dagang internasional yang telah ditandatangani pemerintah, yang menurutnya belum pernah dibahas secara serius dampaknya bagi industri nasional.
“Saya pernah satu periode di Komisi VI DPR, pertanyaan saya selalu sama: gain (keuntungan)-nya apa buat kita? Debat ini tidak pernah kita dengar secara serius,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Deddy mengingatkan risiko Indonesia hanya menjadi perantara perdagangan, khususnya bagi produk-produk asal China, apabila tidak memiliki visi industrialisasi yang jelas dan terarah.
Di akhir pernyataannya, Legislator Daerah Pemilihan Kalimantan Utara itu menegaskan Kadin tidak seharusnya terlibat dalam politik praktis maupun membicarakan kewenangan kekuasaan.
“Kalau Kadin menjadi bagian dari pemerintah, selesai. Game over. Kadin harus jadi mitra sejajar, supaya pemerintah tidak ugal-ugalan. Tapi kalau Kadin berpolitik, Anda tidak akan berani bersuara dan tidak akan jadi champion ekonomi nasional,” tegasnya.
Meski demikian, Deddy berharap pembahasan revisi UU Kadin diawali dengan kesamaan pandangan mengenai visi, tujuan, bentuk organisasi, serta manfaat nyata Kadin bagi masyarakat luas.
“Kalau Kadin begini-begini saja dan dilegalkan dalam undang-undang, tidak ada gunanya juga untuk rakyat di bawah,” pungkasnya.

















































































