Ikuti Kami

Soal RUU Penyadapan, Henry Berharap RI Dicontoh Negara Lain

Tapi ketika nanti misalnya BIN ada sendiri, BNN punya sendiri, Kejaksaan juga, mungkin kita akan menjadi contoh negara lain

Soal RUU Penyadapan, Henry Berharap RI Dicontoh Negara Lain
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PDI Perjuangan H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH. MH.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PDI Perjuangan H. KRH. Henry Yosodiningrat meminta kepada Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan Agung, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta aparat penegak hukum lainnya yang memiliki kewenangan dalam penyadapan untuk memberikan masukan kepada Badan Legislasi DPR yang sedang merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan.

"Rapat kita kali ini adalah Rapat Dengar Pendapat, artinya kita meminta masukan dari pihak-pihak yang nantinya akan menjadi user dari Undang-Undang Penyadapan ini. Saya berharap supaya dari instansi atau institusi yang nanti menggunakan UU ini, justru memberikan masukan kira-kira kriteria yang boleh disadap itu apa? Karena Bapak-bapak lah yang paling mengetahui," ucap Henry dalam RDP Baleg DPR RI dengan Kepala BNN RI, perwakilan Jaksa Agung yang dihadiri Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Jan S. Maringka dan Kepala BSSN Mayjen TNI Djoko Setiadi.

Kedua, lanjut Henry, coba berikan masukan, kira-kira sanksi yang diberikan oleh UU dalam hal bisa dibuktikan di kemudian hari atau suatu saat penyadapan berlangsung, ada pihak ketiga yang bisa membuktikan bahwa dia disadap mengenai hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penegakan hukum. 

"Apakah itu penyelidikan, apalagi sampai ke penyidikan. Jadi untuk penyelidikan untuk orang ini sendiri sama sekali tidak mempunyai satu alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Nah, saya pikir kita akan lebih mudah merumuskan, jadi kriteria yang boleh disadap itu apa, kemudian sanksinya itu apa?" imbuh Henry.

Masih disampaikan Henry, apakah kita perlu dalam RUU Penyadapan ada sebuah lembaga yang juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyadapan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang diberikan kewenangan oleh UU untuk menyadap.

"Mungkin, ketika nanti pada saatnya kita justru memberikan kewenangan kepada setiap institusi penegak hukum yang kita pandang perlu untuk memiliki alat penyadapan itu, bisa jadi kita nanti akan menjadi contoh dari negara-negara lain," harap Henry.

Dalam hal ini, Henry mengaku memiliki pemikiran berbeda. "Saya agak sedikit berbeda, kalau kita lihat dari beberapa negara, hanya ada satu, di tempat Kepolisian misalnya, tapi ketika nanti misalnya BIN ada sendiri, BNN punya sendiri, Kejaksaan juga, mungkin kita akan menjadi contoh negara lain," cetusnya.

Selain itu, Henry memaparkan alasan Yuridisnya kenapa tidak perlu izin dari pengadilan atau Kejaksaan untuk menyadap. Terlebih lagi kalau disebutkan harus ada bukti permulaan.

"Nanti ketika kita ajukan, ini lho bukti permulaannya. Itu masih bisa diperdebatkan, ini bukan bukti permulaan menurut hukum. Kan begitu. Lantas, seperti apa yang akan kita hadapi?" tuturnya.

Henry memberi analogi, sejauh ada indikasi, misal: ada seorang yang "biasa-biasa saja", bukan seorang pengusaha, bolak-balik ke luar negeri, ke negara-negara tertentu yang tidak memerlukan Visa.

"Itu hak dia lho untuk berpergian. Tapi di sisi lain ada apa ini orang? Tetangganya mulai curiga sama orang ini. Kok setiap seminggu sekali pergi ke Singapura ya, terus minggu depannya lagi ke Hongkong, Bangkok, Malaysia atau negara tertentu yang tidak perlu Visa. Informasi ini sebetulnya sudah bisa untuk dijadikan alasan untuk melakukan penyadapan. Bahkan mungkin istrinya boleh disadap. Tapi ketika hasil penyadapan tidak ditemukan ada indikasi perbuatan pidana, maka saya minta kepada para user yang akan menggunakan UU ini, kapan itu harus sudah dihapus? Dan sanksi yang tegas dalam hal terjadi penyalahgunaan atau membuka hasil sadapan, termasuk kriteria alat bukti di Persidangan," urai Henry.

Untuk itu, tambah Henry yang juga Ketua Umum DPP Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) ini, agar dibuat satu sanksi yang tegas dan keras, sehingga orang gak berani coba-coba untuk menyalahgunakan kewenangan.

"Penyidik juga kita pikirkan bersama, siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan. Kalau alat, saya justru merekomendasikan, mari setiap institusi punya alat sendiri-sendiri. BNNmau pinjam ke Kejaksaan, ke Kepolisian. Pelaksanaannya tidak bisa dipanjer seperti itu. Harus "24 Jam" diawasi. Masa' harus menempatkan orang di Kejaksaan, di Kepolisian, untuk menyadap sesuai keperluannya," kesal Henry.

Henry juga menyorot soal kewenangan penyidikan antara Penyidik dan Penuntut Umum terkait aturan penyadapan.

Menurut dia, ketika sudah sampai kepada berkas Sprindik, maka di situ diperlukan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Begitu sudah ada SPDP, antara Penyidik dengan Penuntut Umum, itu sama-sama ikut melakukan pengawasan terhadap penyadapan yang dilakukan oleh Penyidik.

"Nah itu salah satu solusi supaya ada kontrol di antara masing-masing. Lidik harus ada batas waktu, begitu pula Sprindik, sejak Sprindik itulah maka menyampaikan SPDP. Ketika SPDP sudah diterima, keduanya saling kontrol. Dan berapa lama proses penyidikan itu, dan harus ada waktunya. Ini sekadar masukan, mungkin bisa diajukan kepada Baleg DPR RI," tandas Henry.

Quote