Ikuti Kami

Potret Krisis Demokrasi Indonesia

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan yang juga Ketua Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan.

Potret Krisis Demokrasi Indonesia
Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan yang juga Ketua Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan.

Jakarta, Gesuri.id - Prosedural demokrasi kita faktanya masih menyisakan beberapa hal yang perlu dibenahi, dan pastinya hari ini permasalahan itu makin menggelembung terlihat jelas di ruang publik kita. 

Artikulasinya bahwa, polemik proses politik demokrasi menuju 14 Februari 2024 yang sisa hitungan hari, sedang dalam kondisi "tidak baik-baik saja". 

Keresahan hingga berlanjutnya kritik yang terus terjadi dari seluruh lapisan masyarakat mulai dari mahasiswa, aktivis, akademisi, pakar hukum tata negara, para tokoh lintas agama, budayawan hingga lapisan masyarakat lainnya. 

Hal tersebut jelas merupakan pertanda tak terbantahkannya adanya problem yang sangat serius. 

Suasana kebatinan pada ruang publik soal mengemukanya "polusi diksi" politik dinasti, mahkamah keluarga, anak haram konstitusi, privilege, hingga soal pengangkatan ketua partai secara instan, telah menjadi wacana perbincangan yang memicu gerakan rasionalitas gugatan dan arusnya terus saja bergulir, pastinya hal tersebut merupakan keniscayaan logis yang mustahil untuk bisa dibendung. 

Fakta lainnya bahwa, protes ini tidak hanya terjadi di ruang publik kita, sehubungan dengan konteks wacana penguatan arah demokrasi deliberatif yang terjadi secara global, sehingga banyak pengamat dan pemerhati demokrasi hingga media mainstream luar negeri, dengan begitu gamblangnya menyoroti proses demokrasi kita yang diyakini mengalami kemunduran dan sangat memprihatinkan. 

Sekali lagi, bahwa setidaknya apapun ketidakpuasan pada realita di ruang publik, sejatinya itu indikasi ada yang sangat bermasalah pada proses demokrasi prosedural itu sendiri - dan terbaca atau diyakini sangat erat kaitannya dengan intervensi kekuasaan. 

Dalam pandangan teoritis sosiologisnya, meminjam pemetaan teori sosial Talcott Parsons seorang pakar sosiolog Amerika, ketika dikontekstulisasaikan pada fondasi sistem kekuasaan, sehubungan dengan soal legitimate, jika ini rapuh pastinya akan "menggoyang" status kekuasaan itu sendiri, atau dengan kata lain ketika krisis legitimasi terjadi niscaya akan memicu sebuah resiko. 

Singkatnya bahwa, modal integrasi normatif (normative integration) kekuasaan, harus ditopang pada keyakinan konsistensi kesinambungan konsensus objektif atas tujuan tegaknya landasan prinsipnya. 

Manakala ini tercederai pada proses justifikasi (instrumen legalistik hukum), maka krisis akan menjadi keniscayaan memunculkan kritik dan bahkan bisa menggugat mandat sebuah kekuasaan yang sedang berlangsung dengan berbagai caranya. 

Gerakan mahasiswa dan demokrasi deliberatif

Gerakan partisapasi aktif mahasiswa dalam perjalanan sejarah proses politik-demokrasi kita harus menjadi catatan penting untuk selalu diapresiasi - karena peran tersebut begitu strategis sebagai salah satu kekuatan daya kontrol atas marwah proses kekuasaan itu dijalankan.

Apalagi kenyataan demokrasi lima tahunan masih terkesan kehilangan esensi nilai-nilai visionernya, ritual kontestasi politik kita hanya berkutat soal elektoral perolehan dukungan yang "membuta" terhadap makna substantif tujuan berdemokrasi. Sehingga sangatlah membutuhkan "jalan lain" untuk membangun tujuan egaliter-berkeadilan sebagai syarat jaminan atas cita-cita kemanusiaan. 

Sangat sulit diterima jika kita pasif untuk mencapai tujuan Indonesia berkeadilan sosial, ketika hanya menjadi slogan tanpa kesadaran emansipasi untuk bergerak, sebagaimana tuntutan pemaknaan nilai-nilai dalam sila Pancasila sebagai asas konstitusi. 

Ada salah satu pendapat dan sudah menjadi rahasia umum yang wajib kita renungkan kembali bersama, bahwa ruang demokrasi kita tersandera oleh "kejahatan rezim masa lalu" karena mata rantai ini tidak diputus dengan ketegasan hukum yang pasti sejak awal reformasi. 

Sehingga "hantu hegemoni" terus saja bermetamorfosa seakan melanggengkan budaya praktek koruptif dan sekaligus menjadi faktor macetnya pangadilan atas "dosa-dosa masa lalu".

Mempersoalkan realitas dosa masa lalu di negeri kita adalah konsekuensi logis dan bukan tanpa alasan, sehingga dibutuhkan penafsiran dan "sikap politik" yang harus lebih serius karena pastinya ada relasi pangaruh atas arah edukasi tegaknya harapan nilai-nilai prinsip bagi masa depan praktek berdemokrasi di negeri kita.

Bagaimana bangsa ini melangkah bersama, melakukan penguatan agar setiap proses demokrasi bukan lagi hanya sekedar membaca peta dalam upaya memobilisasikan strategi elektoral, tapi yang menjadi tuntutannya bagaimana membangun peradaban politik agar jaminan fondasi berkeadilan menjadi kesadaran komitmen bersama secara jelas. 

Gerakan mahasiswa ratusan kampus di Indonesia hari ini, dengan narasi besarnya menolak politik dinasti, pasca prahara putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah tuntutan aspirasi yang harus dimaknai sebagai jalan untuk membuka ruang rasionalitas-komunikatif. 

Dalam teori konsep demokrasi deliberatif semua aspirasi lapisan masyarakat harus terakomodir atau dikonfrontir secara rasional untuk sebuah pemecahan segala permasalahan polemik yang terjadi. 

Dalam tuntutan rasionalisasinya bahwa, kekuasaan negara eksekutif, legislatif dan yudikatif jangan tertutup apalagi bersifat intimidatif dengan berbagai tuntutan publik, jika hal tersebut terjadi, dapat dipastikan akan mencederai makna esensial demokrasi dan legitimasi kekuasaan itu sendiri. 

Dasar sikap dan argumentasi bukanlah monopoli institusi negara atau kekuasaan, melainkan setiap warga negara berhak menyampaikan rasionalitas-aspirasinya dalam menegaskan sikapnya. 

Singkatnya, kekuasaan politik yang legitim mempersyaratkan wajibkan bentuk kekuasaan yang komunikatif, bukan dengan cara-cara represif menekan dengan menggunakan institusi penegak hukum, yang merupakan watak kekuasaan otoriterianisme sebagaimana itu adalah ancaman terburuk bagi peradaban demokrasi di manapun. 

Peran mahasiswa atau pemuda adalah sebuah sebuah fondasi harapan dan sekaligus tumpuan perjalanan masa depan peradaban demokrasi kita. 

Kewajiban negara agar bagaimana peran pemuda atau mahasiswa pada posisinya sebagai agent of change bisa lebih leluasa berperan maksimal pada proses demokrasi serta arah edukasi pendidikan moral-etik politik.

Jangan malah "eksistensi simbolik" mereka dimanipulasi atau dikorbankan untuk syahwat pragmatisme kekuasaan, yang justru akan membawa bangsa ini akan makin terpuruk.

Quote