Surabaya, Gesuri.id - Kader PDI Perjuangan, Achmad Hidayat, menegaskan bahwa penguatan Korps Marinir TNI AL merupakan kebutuhan strategis untuk menjawab tantangan pertahanan Indonesia sebagai negara maritim. Menurutnya, Marinir bukan sekadar pasukan pendarat, tetapi bagian tak terpisahkan dari sistem pertahanan yang menjaga kedaulatan Nusantara.
Berbicara pada momentum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Korps Marinir yang diperingati setiap 15 November, Achmad menyampaikan bahwa sejak masa lampau, kekuatan Nusantara selalu bertumpu pada armada prajurit yang memiliki standar tempur tinggi. “Sejak era Sriwijaya, Singosari, hingga Majapahit, kekuatan laut kita ditopang oleh pasukan elite yang memiliki tugas serupa dengan Marinir masa kini,” ujarnya di Surabaya, Sabtu (15/11).
Achmad juga mengingatkan bahwa pemikiran Bung Karno menempatkan Korps Komando (KKO), cikal-bakal Marinir, sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan negara kepulauan. Tanggal 15 November sendiri dipilih sebagai HUT Marinir berdasarkan perayaan pertamanya pada 1945 di Tegal, Jawa Tengah, yang menandai tonggak penting penguatan pasukan amfibi Indonesia.
Dalam perspektif geopolitik, lanjut Achmad, posisi Indonesia yang berada di jalur silang dunia menjadikan kekuatan maritim sebagai kebutuhan strategis. Ia menekankan bahwa Marinir harus mampu menjadi "tulang punggung negara maritim dunia" sebagaimana cita-cita besar para pendiri bangsa. “Kedaulatan tidak bisa hanya dijaga dengan diplomasi. Kekuatan laut dan pasukan amfibi adalah faktor penentu,” tegasnya.
Achmad menyoroti bagaimana warisan pemikiran Soekarno, termasuk Doktrin Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT), relevan untuk menjawab tantangan modern. Doktrin itu memadukan kekuatan kapal perang, pesawat udara, dan pasukan pendarat amfibi sebagai satu kesatuan operasi tempur terpadu. Menurutnya, Marinir memegang peran vital sebagai unsur yang menghadirkan efek deterensi di wilayah perbatasan dan titik-titik rawan konflik.
Namun, Achmad menilai jumlah personel Marinir saat ini belum memadai dibanding cakupan wilayah Indonesia. Dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer dan 17.380 pulau, Marinir yang berjumlah 41.180 personel dianggap masih jauh dari ideal. “Artinya, hanya sekitar tiga personel Marinir menjaga satu pulau. Ini jelas tantangan besar bagi pertahanan kita,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ancaman keamanan maritim semakin kompleks, mulai dari penyelundupan, pencurian ikan, konflik perbatasan, hingga potensi eskalasi militer di kawasan Indo-Pasifik. Kondisi tersebut membuat penambahan kekuatan personel, modernisasi alutsista, serta penguatan kapasitas tempur menjadi sangat mendesak.
Achmad menutup dengan menyerukan dukungan politik nasional untuk memperkuat Marinir sebagai bagian dari strategi pertahanan jangka panjang Indonesia. “Marinir harus menjadi kekuatan yang tidak hanya disegani di kawasan, tetapi juga menjadi simbol bahwa Indonesia mampu menjaga setiap jengkal lautnya,” tandasnya.

















































































