Ikuti Kami

Aria Bima: Mangkunegoro VII Teladani Modernitas Beriringan dengan Nilai Budaya dan Kearifan Lokal

Mangkunegoro ke-7, salah satu tokoh penting dalam sejarah pembangunan Kota Solo. 

Aria Bima: Mangkunegoro VII Teladani Modernitas Beriringan dengan Nilai Budaya dan Kearifan Lokal
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima.

Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, menyoroti kembali kebijaksanaan dan visi kebudayaan yang diwariskan oleh Mangkunegoro ke-7, salah satu tokoh penting dalam sejarah pembangunan Kota Solo. 

Menurutnya, sosok Mangkunegoro ke-7 memberikan teladan berharga tentang bagaimana kemajuan dan modernitas dapat berjalan beriringan dengan pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

“Dan ketika Mangkunagoro ke-7, saya kebetulan di depan istana Mangkunagaran. Ketika Mangkunagoro ke-7 membangun perumahan modern seperti Villa Park di Banjarsari, sekali lagi, Solo memperhatikan kebijaksanaan bahwa modernitas tak harus meninggalkan identitas,” kata Aria Bima saat memberikan refleksi budaya di Solo, dikutip pada Minggu (5/10/2025).

Menurut Aria, konsep pembangunan yang diterapkan oleh Mangkunegoro ke-7 menjadi cerminan bahwa kemajuan fisik kota tidak boleh melupakan esensi kemanusiaan dan kebudayaan yang melekat di dalamnya. Ia menekankan bahwa nilai-nilai budaya harus tetap menjadi roh dari setiap perkembangan kota.

“**Bahwa perkembangan harus diringi oleh nilai-nilai budaya dan menjaga kota agar tetap hangat dan manusiawi. Bahkan Yogyakarta pun terinspirasi dan membangun kawasan kota baru. Bukti bahwa kebaikan yang ditanam akan selalu menumbuhkan kebaikan-kebaikan yang lain,” lanjut Aria.

Aria menjelaskan, warisan pemikiran Mangkunegoro ke-7 bukan sekadar peninggalan fisik berupa taman, jalan, atau gedung, tetapi juga pandangan hidup tentang bagaimana sebuah kota harus dibangun berdasarkan harmoni antara manusia, budaya, dan alam. Bagi Aria, filosofi itu sangat relevan di tengah tantangan modernisasi dan urbanisasi yang cepat seperti sekarang ini.

Ia kemudian menyoroti bahwa ruh atau jiwa Kota Solo sesungguhnya tidak hanya terletak pada bangunan megah atau infrastruktur, melainkan pada panggung-panggung kesenian dan kehidupan sosial masyarakatnya.

“Lalu di mana letak jiwa kota ini? Jawabnya adalah di panggung-panggung sederhana seperti di Wayang Orang Sriwedari. Tempat Wayang Orang menjadi penanda zaman. Para seniman yang berasal dari Mangkunagaran dan Kasunanan hadir bersama di sini,” tutur Aria.

Menurutnya, Wayang Orang Sriwedari merupakan simbol harmoni dan persatuan yang lahir dari akar budaya Jawa, di mana seniman dari dua keraton besar di Solo bersatu untuk menghibur sekaligus mengedukasi masyarakat. Nilai-nilai yang ditampilkan melalui seni pertunjukan itu, kata Aria, mengajarkan masyarakat untuk hidup dalam keseimbangan dan saling menghargai.

“Menghibur dan mengedukasi warga dengan lakon-lakon kehidupan. Mereka menjadi cermin bagi kita tentang harmoni dan kebersamaan. Sebuah nilai yang luhur dan abadi di kota Solo,” jelasnya.

Aria Bima menambahkan bahwa semangat kebudayaan dan kebersamaan yang diwariskan para leluhur seperti Mangkunegoro ke-7 harus terus dijaga dan ditransformasikan ke dalam kebijakan pembangunan masa kini. Ia berharap pemerintah daerah dan masyarakat Solo dapat meneladani prinsip bahwa kemajuan sejati bukan hanya diukur dari pembangunan fisik, melainkan dari seberapa dalam nilai-nilai budaya tetap hidup di tengah warganya.

Dengan refleksi tersebut, Aria menegaskan bahwa Solo bukan sekadar kota sejarah, melainkan ruang hidup yang terus menumbuhkan harmoni antara tradisi dan kemajuan, menjadikannya salah satu kota dengan jiwa paling kuat di Indonesia.

Quote