Ikuti Kami

Bung Karno Punya Cinta dari Kutai Kartanegara 

Kukar adalah tempat asal salah satu wanita yang sangat dicintai Bung Karno. Wanita itu adalah Heldy Djafar. 

Bung Karno Punya Cinta dari Kutai Kartanegara 
Presiden Pertama RI Soekarno.

Jakarta, Gesuri.id -  Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan ibu kota baru Indonesia pindah ke Provinsi Kalimantan Timur.  Dan lokasi persis ibukota baru itu adalah sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).

Kukar, sebagai Salah satu Kabupaten yang akan menjadi lokasi Ibu kota baru punya ikatan emosional yang kuat dengan Presiden pertama Republik Indonesia (RI), Bung Karno. 

Baca: Bung Karno Melarang Menghina Agama Lain

Ya, Kukar adalah tempat asal salah satu wanita yang sangat dicintai Bung Karno. Wanita itu adalah Heldy Djafar. 

Heldy lahir di Tenggarong, Kukar, Kalimantan Timur sebagai bungsu dari sembilan besaudara anak-anak pasangan H. Djafar dan Hj. Hamiah pada 10 Agustus 1947. Setelah lulus SMP, Heldy  pergi mengikuti jejak kakak-kakaknya ke Jakarta untuk menuntut ilmu. 

Di Jakarta, Heldy tinggal di rumah Erham, kakak laki-lakinya yang saat itu telah bertempat tinggal di Jalan Ciawi III No. 4 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.  Suatu hari, Yus yang merupakan salah satu kakak Heldy, dipercaya pihak protokol Istana Negara untuk menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika. Maklum, Heldy yang aktivis dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu memiliki relasi kuat dengan beragam kalangan. 

Barisan Bhinneka Tunggal Ika sendiri diprakarsai oleh Bung Karno, yang terdiri atas remaja putra-putri dari berbagai provinsi. Mereka bagian dari protokol Istana yang selalu berdiri berjajar sebagai pagar ayu dan pagar bagus di setiap acara.

Heldy yang saat itu kelas 2 SKKA pun terpilih mewakili Kalimantan. Pada suatu hari di tahun 1964, Heldy berdiri berjajar di tangga Istana Merdeka bersama anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika. Ia mengenakan kebaya warna pink dengan kain lereng, berselendang, dan rambutnya disanggul hasil penataan Minot, kakak perempuannya. 

Dan hari itu, Bung Karno menyambut tim bulutangkis yang baru merebut Piala Thomas. Bung Karno pun berjalan menapaki anak tangga sambil mengamati kiri dan kanan. Ketika tepat di depan Heldy, Bung Karno mendekat dan menepuk bahu kirinya.

Bung Karno pun bertanya pada Heldy. 

“Dari mana asal kamu?”

“Dari Kalimantan, Pak,” jawab Heldy kaget dan gemetar. 

“Oh, aku kira dari Sunda. Rupanya ada orang Kalimantan cantik.” timpal Bung Karno. 

Baca: Nuansa Multi Budaya Dalam Nama Dinasti Soekarno

Pertemuan pertama itu sangat berkesan bagi Heldy. Maklum, selama ini dia memang mengidolakan sosok Bung Karno. 

Pertemuan kedua terjadi saat Heldy dan kawan-kawan mendadak diminta pihak sekolah menjadi barisan Bhinneka Tungga Ika ke Istana Bogor. Ketika itu, Heldy mengenakan kebaya pinjaman yang tak sesuai dengan ukuran dirinya. Kebayanya pun kedodoran dan sanggulnya kendor. 

Saat Bung Karno lewat, perhatiannya kenbali tertuju pada Heldy. Ia pun menyuruh ajudannya agar meminta Heldy mendekat.

“Sanggulmu salah, bukan begini. Juga kebaya dan kainmu. Siapa yang mendandanimu?” tanya Bung Karno.

“Ibu Maryati, Pak,” jawab Heldy dengan mental yang terguncang. 

Lalu, pertemuan ketiga antara keduanya terjadi tatkala Bung Karno meminta para anggota barisan menyanyi satu demi satu. Heldy pun disuruh tampil pertama. 

Heldy pun memilih lagu daerah Kalimantan. Di luar dugaan Heldy, Presiden memintanya mengulang.  Heldy pun mengulang lagu yang berkisah tentang  panen padi itu. 

Setelah pertemuan ketiga itu, Heldy agak jarang ikut dalam kegiatan barisan Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu sebabnya adalah dia harus menjalani operasi amandel.

Baca: Di Konser Kebangsaan, Ganjar: Papua, I Love You

Hingga akhirnya pada suatu hari, dia mendapat kembali penugasan. Heldy mempersiapkan diri dengan lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Ketika acara mulai, Bung Karno meminta Heldy mendekat. 

“Ke mana saja kau, sudah lama tidak kelihatan?” tanya Bung Karno, yang ternyata memperhatikan keberadaan Heldy.  

“Sakit, Pak,” jawab Heldy.

“Nanti kau lenso sama aku ya. Sini, kau duduk dekat aku,” kata Bung Karno.

Saat menari lenso pun tiba. Heldy yang sering diajari kakaknya menari lenso pun menunjukkan kebolehannya menari dengan Sang Proklamator. 

Hal itu dilakukan di hadapan banyak tamu penting serta para artis penghibur yang lebih senior seperti Titiek Puspa, Rita Zahara, dan Feti Fatimah. 

Bung Karno pun menanyakan beberapa hal pada Heldy, seperti sekolah dan usia Heldy. Dan tarian itu pun membuka mata khalayak ramai, bahwa Bung Karno telah jatuh cinta pada Heldy. 

Sejak acara menari lenso itu, Heldy pun sering diamati publik. Bahkan, ada anggota Cakrabirawa selaku pasukan pengamanan Presiden, yang selalu menjaganya. 

Akhirnya, pada tanggal 12 Mei 1965, Bung Karno berkunjung ke rumah Erham tempat Heldy tinggal. Kedatangan Bung Karno itu didahului oleh kunjungan sejumlah “orang Istana” yang antara lain meminta agar ketika Bung Karno datang, lampu teras dimatikan.

Baca: RSUD Bung Karno Solo Simbol Kemerdekaan Bidang Kesehatan

Bung Karno pun menyatakan ketertarikannya kepada Heldy. Namun Heldy yang merasa masih terlalu muda, meminta agar Bung Karno memilih perempuan lain saja. 

Tapi Bung Karno tidak marah atau kecewa mengadapi penolakan Heldy. Ia bahkan memberikan sebuah bungkusan kecil yang isinya jam tangan Rolex.

Kemudian Bung Karno mengajak Heldy pergi mencari makan malam. Heldy mendampinginya dan duduk di jok belakang VW Kodok yang dinaiki Bung Karno. Mereka menuju ke daerah Sampur untuk membeli sate ayam langganan Bung Karno.

Bung Karno pun makin sering mengunjungi Heldy. Dia juga selalu memberi uang pada Heldy dan keluarganya dengan jumlah yang tidak sedikit. Belakangan Heldy bahkan diberi mobil Holden Premier warna biru telur asin. 

Heldy pun menjadi sering ke Istana. Dan masyarakat pun mengetahui bahwa Heldy adalah kekasih Bung Karno. 

Pada 1965, meletus tragedi Gestok. Beberapa hari setelah peristiwa Gestok, datang lagi ajudan Bung Karno untuk menjemput Heldy. Di istana, Heldy bertemu dengan Bung Karno yang dalam kondisi letih karena menghadapi persoalan pelik. 

Kemudian pada Mei 1966, Bung Karno pun meminta kesediaan Heldy untuk menjadi istrinya.

“Yang aku cari bukan wanita yang cantik luarnya saja. Tapi juga dalamnya, dan itu ada dalam dirimu. Kau sungguh menarik bagiku, dan kau juga bisa beribadah dan mengerti baca Al Quran, ini yang aku cari sesungguhnya.” kata Bung Karno pada Heldy.  

“Saya tidak bisa menolak lamaran Bapak, hubungan kita sudah telanjur dekat. Saya mau menikah dengan Bapak,” jawab Heldy.

Mereka pun menikah pada 11 Juni 1966. Ayah Heldy pun bergegas ke Jakarta. Sayangnya, belum sampai di Jakarta dadanya sakit dan ia dibawa kembali ke Tenggarong. Sehari sebelum akad nikah  Heldy, H. Djafar meninggal dunia karena serangan jantung.

Heldy pun menjalani upacara pernikahan dengan penuh keprihatinan dan kesedihan. Tak ada musik dan pesta. Dalam doa, dia meminta izin ayahnya untuk menikah dengan Bung Karno. 

Bung Karno menikahi Heldy Djafar dengan disaksikan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Idham Chalid, Erham Djafar selaku wali, dan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri. 

Baca: PDI Perjuangan Gelorakan Kembali Semangat Bung Karno

Perkembangan politik yang semakin menyudutkan Bung Karno turut berpengaruh pada hubungan Heldy dengan Sang Penggali Pancasila. Heldy semakin sulit untuk bertemu dengan Bung Karno.

Situasi itu sangat menyakitkan bagi Heldy. Hingga akhirnya pada suatu hari, Heldy harus berpisah dengan Bung Karno. 

Meski berpisah, Bung Karno masih sering mengirim surat, hadiah atau uang kepada Heldy. Namun, surat-surat Heldy tak pernah dibalas Bung Karno.

Belakangan Heldy tahu, Bung Karno sudah ditahan rezim Soeharto di Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Hanya sedikit orang yang boleh datang menjenguk.

Suatu malam, Heldy kembali bertemu dengan Bung Karno. Mereka melepas rindu di mobil Ford yang ditumpangi Bung Karno. 

Tak lama kemudian, Bung Karno mengucapkan kalimat berikut. 

“Sudah, masuklah ke mobilmu lagi, aku mau pulang ke Wisma Yaso. Jaga dirimu ya.” 

Ternyata itulah pertemuan terakhir mereka. Bung Karno semakin terkungkung dalam tahanan rezim Soeharto di Wisma Yaso. Dia diasingkan dari dunia luar, termasuk dari keluarganya sendiri. 

Heldy, yang sudah sedemikian terpisah dari Bung Karno akhirnya menerima lamaran Gusti Suriansyah Noor,  putra Pangeran Mohamad Noor dari Istana Kutai Kartanegara yang pernah menjadi Menteri Pekerjaan Umum. Gusti juga berkarir di Departemen Pekerjaan Umum. Pada 19 Juni 1968,  Heldy resmi menjadi istri Gusti Suriansyah Noor. 

Pada 20 Juni 1970, Heldy bermimpi di kamar mandinya terdapat banyak gambar Bung Karno, namun tiba-tiba gambar-gambar itu berjatuhan. Keesokan harinya ia mendengar kabar menyedihkan dari radio, bahwa Bung Karno wafat. 

Baca: Semangat Berdikari Dalam Pembangunan Semesta

Heldy menangis sendiri di ruang tamu. Hingga saat pemakaman Bung Karno  di Blitar esok harinya, Heldy tak bisa mengantar sebab dia sedang mengandung anak keduanya. 

Heldy pun hanya bisa menangis di rumahnya. Wanita Kukar itu sangat bersedih telah kehilangan suami sekaligus cinta pertamanya.

Quote