Jakarta, Gesuri.id - Aktivis Perempuan Kanti W Janis menanggapi kesaksian dari para korban dan orang tua korban perundungan, karena tidak memakai hijab atau jilbab
Kanti menegaskan, perundungan semacam itu, bukan perundungan biasa.
"Mengerikan sekali. Perundungan terjadi di kantor-kantor pemerintah, di sekolah-sekolah, bahkan dari tingkat SMP," ungkap Kanti.
Baca: Vonis Bebas Pemerkosa di Aceh, Penistaan Agama!
Kader PDI Perjuangan itu melanjutkan, para wanita itu "digencet" karena seorang tidak berhijab. Setiap hari mereka diintimidasi sedemikian rupa, baik oleh atasan di kantor, maupun teman sekelas, kakak kelas sampai guru.
"Hinaan, pelecehan, ancaman dinormalisasi terhadap mereka yang punya keimanan berbeda soal tafsir jilbab, terjadi," ujar Kanti.
Hal paling mengerikan, sambung Kanti, adalah mereka yang melakukan kekerasan tidak merasa bersalah, malah sebaliknya. Mereka merasa benar, superior, bahkan sedang menjalankan perintah Tuhan.
"Logika dan nurani mereka sudah mati. Bagaimana mungkin perbuatan menyiksa orang lain bisa menambah pahala dan membawa ganjaran surga?," ujar Kanti.
"Bagaimana mungkin 'berhasil' menjilbabkan perempuan lalu menghapus dosa-dosa lain? Tolong beri tahu di ayat mana? Termasuk dosa karena telah menyakiti hati dan memberi tekanan mental kepadanya?," ujar Kanti, retoris.
Baca: Pemkot Serang Larang Restoran Buka Siang, Tutupi Korupsi?
Untuk diketahui, menurut Komnas Perempuan, ada minimal 62 aturan wajib jilbab di seluruh Indonesia.
Human Rights Watch mengatakan aturan wajib jilbab efektif pada minimal 24 dari 34 provinsi. Aturan ini muncul tahun 2001 di Sumatera Barat, tahun 2002 di Aceh, lantas makin meluas.
Aturan itu diberlakukan pada anak perempuan, sejak kelas satu sampai kelas 12, juga pegawai negeri perempuan seperti guru, dosen, dokter dan lainnya. Aturan ini dijadikan pembenaran buat diskriminasi dan menekan anak dan perempuan memakai jilbab dengan hukuman beragam.