Ikuti Kami

Perusahaan Sawit Caplok Lahan Gereja, GMNI : Evaluasi HGU!

PT KSL merupakan perusahaan milik Grup Cilyandy Angky Abadi (CAA). 

Perusahaan Sawit Caplok Lahan Gereja, GMNI : Evaluasi HGU!
Ketua DPD GMNI Kalimantan Tengah, Innocent Passage.

Palangkaraya, Gesuri.id - Dewan Pimpinna Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalimantan Tengah (Kalteng) menanggapi persoalan mengenai HGU (Hak Guna Usaha) Perkebunan Kelapa Sawit milik PT Ketapang Subur Lestari (KSL), yang mencaplok lahan bangunan dan halaman Gereja Katolik  Santo Gabriel Stasi Juwung Marigai, Paroki St. Mikael Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. 

PT KSL merupakan perusahaan milik Grup Cilyandy Angky Abadi (CAA). 

GMNI Kalteng menegaskan, Pemerintah harus kembali mereview  pengelolaan dan pemberian izin terhadap suatu perusahaan dalam kebijakan  HGU.

"Ada berbagai faktor, mengapa pemerintah harus mereview kembali HGU yang telah diberikan kepada PT Ketapang Subur Lestari. Salah satu diantaranya adalah yang telah disampaikan oleh Mantir Adat Desa Janah Jari Bapak Dikang, bahwa dampak sosial yang terjadi dan dirasakan langsung dengan adanya aktivitas perkebunan sawit adalah rusaknya tatanan ekologis, semua sungai dan anak sungai digusur, yang berakibatkan sulitnya mendapatkan air bersih," tegas Ketua DPD GMNI Kalteng Innocent Passage, baru-baru ini 

Baca: Gus Baha Bilang Soekarno 'Didewakan', GMNI Membantah

Passage menambahkan, Pemerintah juga seharusnya memberi perhatian  khusus terhadap HGU yang telah diberikan. Karena berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996,  dijabarkan bahwa  kewajiban pemegang HGU diantaranya yaitu membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga pelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Karena itu, pemerintah harus segera mereview atau bahkan mencabut izin HGU yang telah diberikan. Sebab sejatinya pencabutan HGU bisa dilakukan karena tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban dan/atau dilanggarnya ketentuan ketentuan yang tertera didalam pasal 12 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996," tegas Passage. 

Passage mengungkapkan, konflik masyarakat dengan perusahaan bukan sekali dua kali terjadi di Indonesia,  juga di Kalimantan Tengah. Dan juga  keterbukaan publik soal data HGU terkait penguasaan lahan hingga kini belum dilakukan.

"Sehingga, jika terdapat benturan mengenai HGU dengan sekelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh aktivitas dengan diterbitkannya HGU terhadap suatu perusahaan, maka pemerintah sebaiknya menunda atau memberhentikan kegiatan sebuah perusahaan yang berada di wilayah konflik. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat segera menyelesaikan polemik yang ada," ujar Passage. 

Terkait Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) atau yang lebih dikenal dengan istilah  Sertifikasi tanah, GMNI Kalteng menilai terdapat beberapa hal yang menghambat proses pendaftaran tanah sistematis  tersebut. Salah satunya soal HGU yang diterbitkan oleh pemerintah dan berdampak pada terbelahnya desa atau kampung.

Sehingga, dari hal tersebut dapat  diambil kesimpulan bahwa penatagunaan tanah ataupun Penataan Ruang di Kalimantan Tengah belum berjalan baik, yang berujung munculnya berbagai persoalan.

"Bila meninjau Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 33, dijabarkan mengenai neraca penatagunaan Tanah. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa penatagunaan tanah perlu diatur karena tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, baik tanah itu telah dikuasai atau dimiliki oleh seseorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat dan/atau badan hukum maupun yang belum diatur dalam hubungan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan," papar Passage. 

GMNI Kalteng pun  memberikan saran kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan polemik pertanahan akibat adanya HGU PT KSL itu. 

"Kami juga mendesak Pemerintah  segera melakukan penatagunaan tanah di seluruh wilayah kalimantan Tengah, agar polemik seperti ini tak terulang kembali, serta masyarakat adil dan makmur serta Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh pun bisa terwujud," pungkas Passage. 

Seperti diketahui, pencaplokan lahan milik Gereja oleh PT KSL diungkap oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Barito Timur, Yulius Yartono. Warga Ampah, Barito Timur itu menjelaskan, satu unit bangunan plus lahan pekarangan milik gereja Katolik  Santo Gabriel Stasi Juwung Marigai, Paroki St. Mikael Tamiang Layang,  dicaplok oleh HGU milik  PT KSL.

Baca: PDI Perjuangan Rawamerta Gelar Sepakbola Wanita & Baksos

Hal itu terungkap pada saat Yulius Yartono meminta  pihak Kementerian dan Tata Ruang  Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Barito Timur  melakukan pengukuran tanah sistematis lengkap ( PTSL) pada 17 Januari 2021 lalu.

Ternyata,  tanah pekarangan beserta bangunan gereja Katolik di stasi Juwung Marigai gagal disertifikasi atau ditolak oleh pihak petugas BPN karena sudah masuk dalam wilayah zona hijau HGU  PT KSL. 

Bahkan,  pencaplokan tersebut tidak hanya menimpa gereja. Namun lokasi tempat pemakaman umum (TPU) Watu Wihi dan puluhan rumah kepala keluarga beserta lokasi perkebunan yang ada di wilayah RT 03 Juwung Marigai juga masuk dalam kawasan HGU perkebunan kelapa sawit.

"Bisa disimpulkan bahwa program  pendaftaran tanah sistematis Lengkap (PTSL ) di desa Janah jari, kecamatan Awang, gagal lantaran adanya HGU membelah desa atau kampung. Oleh sebab itu,dampak yang dialami oleh masyarakat satu kerugian yang nyata, umat Katolik tidak mendapatkan sertifikat hak milik untuk bangunan gereja dan masyarakat pun juga tidak bisa memiliki sertifikat," ujar Yartono, yang merupakan mantan ketua umat  selama 14 tahun di stasi Juwung Marigai ini.

Quote