Ikuti Kami

Benci Tapi Rindu Warga Jakarta ke Ibu Kota Tercinta

Jakarta tetap menjadi magnet besar yang mengundang banyak orang datang dan menetap.

Benci Tapi Rindu Warga Jakarta ke Ibu Kota Tercinta
Penari tampil saat Jakarta Night Festival di Jakarta, Sabtu (22/6/2019). Jakarta Night Festival digelar dalam rangka merayakan HUT ke-492 DKI Jakarta.

Jakarta, Gesuri.id – Jakarta bukanlah kota yang mudah membuat orang merasa nyaman apalagi jatuh cinta untuk ditinggali. 

Berada di atas lahan seluas 661.5 km2 dengan jumlah kepadatan mencapai 15.663 jiwa per km persegi dan jumlah penduduk mencapai 10,37 juta jiwa, ditambah dengan jumlah kendaraan yang kian pesat hingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa di setiap hari, kota ini terasa penuh ambisi, hingga berpolusi. 

Baca: 492 Tahun Jakarta: Kesemrawutan dan Kewarasan Warganya

Namun, Jakarta tetap menjadi magnet besar yang mengundang banyak orang datang dan menetap lama. 

Mereka bertahan dengan segala manis dan getirnya ibukota. Lantas apa sih yang membuat mereka betah tinggal di Jakarta? Jawabannya ternyata love-hate-relationship atau benci tapi cinta kepada Jakarta.

Salah seorang warga Jakarta yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah internasional, Tracy (38 tahun) mengaku meskipun pernah tinggal lama di Belanda dan di Bandung, namun dirinya terlanjur mimilki perasaan benci-tapi-cinta kepada Jakarta. 

“(Benci) Macet, paling utama, kedua orang-orangnya yang susah disiplin, ketiga polusi. Love-nya yah karena masyarakatnya cukup friendly ya, trus perekonomian lebih berkembang dibanding kota lain dan food consider cheap and 24 hours dibanding negara lain,” ungkap Tracy.

Tracy juga kerap merasa rindu pulang ke rumahnya di Jakarta. Meskipun jauh dari hiruk pikuk, tapi tinggal di Belanda dan Bandung terlalu lama juga membuatnya bosan. 

Baca: Mendagri Kritik Tata Kelola Pemprov DKI Jakarta

“Ujung-ujungnya tetep balik ke Jakarta. Rindu juga sama happeningnya sama teman dan keluarga yah tentunya. Di Jakarta seperti city never sleeps gitu, mau apa 24 jam ada,” ujarnya.

Soal kemacetan Jakarta, Tracy mengaku hal itu kerap membuat kewarasannya hilang namun dia mau tidak mau harus menerimanya. Dia menyebut dia bisa menghabiskan waktu 1-1,5 jam dengan mengendarai mobil untuk berangkat dari rumahnya di Pulo Mas ke tempat kerjanya di daerah Kelapa Gading, padahal jarak itu normalnya bisa ditempuh dalam 15 menit saja.

 “Bikin emosi, makanya kalau berangkat harus pagi, kalau pulang harus cari jalan tikus. Tapi mau nggak mau sih ya,” katanya.

Senada dengan Dhafi (29 tahun). Fotografer paruh waktu ini mengaku punya perasan benci tapi cinta kepada Jakarta. Menurutnya, Jakarta itu merupakan kota yang asik terutama jika berbicara soal kesenian, dia juga melihat kota ini sudah maju dengan pesat dibanding beberapa dekade sebelumnya. 

“Kalau nggak sukanya, ya standar orang yang tinggal di Jakarta sih, yaitu macetnya nggak nahan,” ucapnya.

Kerap mendapat pekerjaan di luar kota hingga berhari-hari, Dhafi juga kerap disergap rasa rindu pada Jakarta. Meskipun kesal dengan kemacetan di ibukota, dia megaku, hal itu pula yang membuatnya ingin segera kembali ke Jakarta.

“Klise sih, tapi yaa gimana ya, keluar kota yang nggak macet awalnya sih emang enak, tapi kadang suka pengen macet juga. Enggak munafik sih macetnya Jakarta juga bisa bikin kangen,” ungkapnya sembari tertawa.

Dia juga mengaku tak punya keinginan untuk pindah dari Jakarta meskipun kota ini kian padat dan terasa sumpek untuk ditinggali. Alasannya sederhana saja, dia masih bisa enjoy tinggal di Jakarta. 

“Nikmatin aja, toh sudah kodratnya, harus kita nikmatin,” pungkas Dhafi.

Perasaan benci tapi cinta ini tak hanya dimiliki oleh mereka yang lahir dan besar di Jakarta saja, beberapa pendatang pun merasakan hal yang sama. 

Dina (27 tahun) asal Yogyakarta misalnya, sudah empat tahun ini tinggal dan bekerja di Jakarta, dia mengaku Jakarta masih menempati peringat teratas sebagai kota layak huni.

“Di sini (Jakarta) emang tempatnya nyari duit sih ya, dan banyak tempat nongkrong yang nyaman banget dan nggak berisik buat kerja,” ujar Dina. 

Keruwetan dan kepadatan Jakarta, menurut Dina sangat berjasa dalam membentuk kepribadiannya. “Karakterku kebentuk di Jakarta,” katanya. 

“Untuk dunia kerja, iya (Jakarta keras), seleksi alam berlaku banget di Jakarta” paparnya.

Soal macet, Dina yang sehari-hari bekerja dengan megendarai mobil dari tempat tinggalnya di Tangerang ke tempat kerjanya di daerah Kebon Sirih, mengaku bisa menghabiskan waktu hingga dua jam saat berangkat dan 1,5 jam saat perjalanan pulang. 

Dia sudah biasa memaklumi kemacetan ibu kota. Menurutnya, itu adalah resiko orang yang tinggal di Jakarta.

“Macet itu risiko yang harus diterima kalau tinggal atau kerja di Jakarta. Kalau emosi malah bikin bad mood seharian,” ungkapnya.

Sedikit berbeda dengan Ferdi (25 tahun), berprofesi sebagai jurnalis dia mengaku biasa saja dengan kemacetan ataupun keruwetan yang ada di Jakarta. Hal yang paling dia benci justru saat kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu di sejumlah titik di ibukota. 

Baca: Selamat HUT Ke-492 Jakarta, Layanan Publik Harus Lebih Baik

Peran Gubernur DKI Jakarta

Bukan karena chaos-nya suasana kala itu, tapi ketidakhadiran Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan di lokasi kerusuhan yang membuatnya merasa kesal dan kecewa.

Menurutnya, kondisi kisruh pasca pengumuman hasil rekapitulasi Pemilu 2019 oleh KPU beberapa waktu lalu tidak cukup dengan himbauan dari Anies agar warganya tetap tenang, tapi kehadiran Anies sebagai si empunya Jakarta. 

“Yang dibutuhkan bukan lah imbauan untuk warganya melainkan adalah gubernur bisa meredam aksi massa sehingga kondisi ibu kota tidak mencekam seperti kemarin secara langsung. Miris. Pak!”

“Kalau bapak memang sosok yang hebat, bapak cukup berdiri di tengah-tengah untuk membuat keadaan kondusif seperti biasanya! Pak anda belum ‘sehebat itu’,” lanjut Ferdi dengan nada kesal.

Baca: HUT ke-492 Tahun, Jakarta Masih Miliki Deretan PR

Meskipun demikian, laki-laki asal Buton ini mengaku bahwa Jakarta adalah kota impiannya sejak dulu untuk mengadu nasib. Kata Ferdi, ada tantangan tersendiri kalau dia bisa sampai tahap menetap dan berdomisili di Jakarta. 

“Semua yang gue butuhkan ada disini. Mulai dari sandang, pangan, insya Allah next papan (rumah),” ungkapnya.

Bagaimana pun perasaan benci tapi cinta itu tumbuh di hati para warganya, mereka tetap berharap Jakarta bisa menjadi tempat yang lebih maju lagi. Kota yang benar-benar bisa mencerminkan gerbang suatu negara tak hanya dari sisi infrastruktur, tapi juga kesejahteraan warganya. Sekali lagi, selamat tahun ke 492 DKI Jakarta!!

Quote