Ikuti Kami

Hak Asasi Manusia dan Relevansinya Dalam Era Milenial 

Oleh : E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan untuk DPR RI, Dapil NTB 2.

Hak Asasi Manusia dan Relevansinya Dalam Era Milenial 
E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan untuk DPR RI, Dapil NTB 2.

Tahun 2018 adalah ulang tahun ke-70  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), yang diadopsi oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi Universal yang diterjemahkan dalam 500 bahasa, berakar pada prinsip bahwa “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak." Ini tetap relevan untuk semua orang dan berlaku setiap hari.

Prinsip universalitas HAM adalah landasan hukum HAM internasional. Prinsip ini, sebagaimana ditekankan pertama kali dalam Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948, telah diulangi dalam berbagai konvensi, deklarasi, dan resolusi HAM internasional.

Konferensi Dunia Wina tahun 1993 tentang HAM, misalnya, mencatat bahwa adalah kewajiban Negara untuk mempromosikan dan melindungi semua HAM dan kebebasan dasar, tanpa memandang sistem politik, ekonomi dan budaya mereka.

Maka untuk menghormati ulang tahun ke-70 dokumen yang luar biasa berpengaruh tersebut, dan untuk mencegah prinsip-prinsip pentingnya agar tidak terkikis, PBB mendesak semua orang di manapun agar “Berdiri untuk Hak Asasi Manusia” (Stand up for Human Rights). 

Peran Perempuan Dalam Kesetaraan dan Non-Diskriminasi

HAM adalah hak yang melekat pada semua manusia, apapun asal kebangsaan atau sosial, jenis kelamin, ras atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, opini politik lainnya. Kita semua sama, berhak atas HAM kita tanpa diskriminasi. Hak-hak ini semuanya saling terkait, saling bergantung dan tak terpisahkan.

Non-diskriminasi adalah prinsip lintas bidang dalam hukum HAM internasional. Prinsip ini ada dalam semua perjanjian HAM utama dan memberikan tema sentral dari beberapa konvensi HAM internasional seperti Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.  

Perempuan memainkan peran penting dalam penyusunan rancangan Dokumen. Selain Eleanor Roosevelt sebagai Ketua Komisi HAM untuk pertama kali dan memainkan peran instrumental dalam penyusunan draft Deklarasi, sejarah mencatat Lakshmi Menon (delegasi India), Minerva Bernardino (Republik Dominika), Bertha Lutz (Brasilia) dan Isabel de Vidal (Uruguay) yang dengan tegas menyatakan non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan menyebutkan persamaan hak antara pria dan wanita. 

Sedangkan penyebutan non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin diusulkan oleh Marie-Helene Lefaucheux dari Perancis. Kemudian Evdokia Uralova dari Republik Sosialis Soviet Byelorusia mengusulkan Pasal 23 yang menyatakan “Setiap orang, tanpa diskriminasi apapun, memiliki hak untuk mendapatkan upah yang setara untuk pekerjaan yang setara”.

Selain itu Hansa Mehta dari India mengusulkan perubahan frase "Semua laki-laki dilahirkan bebas dan setara" menjadi "Semua manusia dilahirkan bebas dan setara" (“All men are born free and equal” to “All human beings are born free and equal”)  dalam Pasal 1 Deklarasi Universal HAM. 

Sedangkan Begum Shaista Ikramullah (Pakistan) memperjuangkan dalam rincian pasal 16 tentang hak yang sama dalam pernikahan sebagai cara untuk memerangi pernikahan anak dan kawin paksa. Kemudian penyebutan “all” atau “everyone” sebagai pemegang hak untuk mengganti “all men” diusulkan oleh Bodil Begtrup (Denmark). Ia juga yang mengusulkan hak atas pendidikan dalam Pasal 26 tentang hak-hak minoritas. (Sumber: Perempuan dan Deklarasi Universal HAM, Rebecca Adami, Routledge, 2018). 

Relevansi Lanjutan Di Era Milenial

Deklarasi telah menunjukkan kehadirannya dari sebuah aspirasi menjadi seperangkat standar yang telah merasuk di semua bidang hukum internasional. Menghadapi tantangan masa kini yang berujud beberapa hal yang masih ada di berbagai belahan bumi seperti konflik antar negara, otoriterisme, xenophobia dan intoleransi menunjukkan bahwa perjuangan agar “berdiri untuk HAM” masih tetap relevan.

Begitupun efek perubahan iklim  yang berisiko membuat sebagian lokasi planet ini tidak bisa dihuni telah menjadi pembahasan intensif di berbagai forum. 

Perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global mengancam mereka yang lemah dan kalah dalam persaingan menjangkau sumber daya pangan yang semakin berkurang dan mengancam pula mereka yang lemah akses terhadap sumber daya energi terbarukan.

Sementara itu kebijakan migrasi telah menimbulkan berbagai konflik dengan penduduk asli sehingga menguatkan kebangkitan nasionalisme sekaligus xenophobia di Negara-negara suaka.  

Tantangan di era milenial saat ini tidak teramalkan pada 70 tahun yamg lalu dan berdampak kepada hak asasi. Skenario perkembangan teknologi digital telah membawa banyak manfaat sekaligus membawa risiko baru juga. 

Kemajuan teknologi komunikasi informasi secara dramatis meningkatkan komunikasi real-time dan berbagi informasi. Dengan meningkatkan akses ke informasi dan memfasilitasi komunikasi global, kemajuan tersebut mendorong partisipasi demokratis.

Dengan memperkuat suara para pembela HAM dan membantu mengungkap pelanggaran, teknologi ini menjanjikan peningkatan kenyamanan HAM. Tetapi pada saat yang sama telah menjadi jelas bahwa teknologi baru ini rentan terhadap pengawasan dan intersepsi elektronik.

Penemuan baru-baru ini telah mengungkapkan bagaimana teknologi baru dikembangkan secara terselubung, seringkali untuk memfasilitasi praktik pengawasan dan intersepsi, dengan efisiensi yang mengerikan. Pengawasan dan intersepsi semacam itu mengancam hak-hak individu - termasuk privasi dan kebebasan berekspresi dan berserikat - dan menghambat fungsi bebas dari masyarakat sipil yang hidup. 

Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, hingga saat ini diratifikasi oleh 167 Negara, menyatakan bahwa tidak seorang pun akan mengalami gangguan yang sewenang-wenang atau melanggar hukum terhadap privasi, keluarga, rumah atau korespondensinya, atau terhadap serangan tidak sah terhadap kehormatannya dan reputasi.

Dalam hal pengembangan aplikasi algoritma dan kecerdasan buatan (artificial intelligence), Negara harus memastikan bahwa badan sektor publik bertindak konsisten dengan prinsip-prinsip HAM. Ini termasuk, antara lain, melakukan konsultasi publik dan melakukan penilaian dampak HAM atau penilaian dampak algoritmik lembaga publik sebelum pengadaan atau penyebaran sistem intelijen buatan.

Ini termasuk mengambil langkah-langkah untuk memastikan bidang kompetitif dalam domain kecerdasan buatan. Langkah-langkah tersebut dapat mencakup pengaturan monopoli teknologi untuk mencegah konsentrasi keahlian dan kekuasaan intelijen buatan di tangan beberapa perusahaan dominan, peraturan yang dirancang untuk meningkatkan interoperabilitas layanan dan teknologi, dan penerapan kebijakan yang mendukung netralitas jaringan dan netralitas perangkat.

Dalam rangka memperingati HAM, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Hari HAM Sedunia berhasil meningkatkan kesadaran akan prinsip-prinsip yang tercantum dalam dokumen, yang sama pentingnya dan relevan saat ini, seperti pada tahun 1948. 

Sebagaimana diungkapkan dalam filosofi Thomas Aquinas yang sempat mengemuka pada saat penyusunan draft bahwa “kehendak bebas dari individu perlu diarahkan menuju hal-hal yang benar, seperti kasih, perdamaian, dan kesucian”, deklarasi itu sendiri harus diakui sebagai sebuah konsensus mengenai nilai tertinggi dari pribadi manusia, nilai yang tidak berasal dari keputusan kekuatan duniawi, tetapi pada kenyataan yang ada - yang memunculkan hak mutlak untuk hidup bebas dari keinginan dan penindasan dan untuk sepenuhnya mengembangkan kepribadian seseorang.

SELAMAT HARI HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
10 DESEMBER 2018

Quote