Ikuti Kami

Kartini Adalah Buku yang Terbuka 

Oleh: E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2.

Kartini Adalah Buku yang Terbuka 
E. Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan DPR RI, Dapil NTB 2. (Foto: Dok. Pribadi)

Warganegara Indonesia mengenal RA. Kartini (1879-1904) sebagai perempuan aristokrat Jawa yang menulis surat-surat yang dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Door Duisternis Tot Licht – Gedachten over en voor het Javaansche volk” (Melalui Kegelapan Menuju Cahaya – Pikiran tentang dan untuk Orang Jawa). 

Kumpulan surat Kartini tersebut – lebih dikenal dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” -  pertama kali diedit oleh JH. Abendanon dan diterbitkan dalam bahasa Belanda tahun 1911, dalam Bahasa Inggris tahun 1920, bahasa Melayu (1922), Arab (1926), Sunda (1930). Jawa (1938), Indonesia (1938) dan Jepang (1955). Surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada sepuluh sosok beragam posisi, dari sosialis, feminis sampai pendidik, menunjukkan seorang Kartini yang feminis, intelektual sekaligus nasionalis. 

Kartini berbicara dan memaparkan hubungan sosial kekuasaan dalam aristrokrasi Jawa yang merupakan bagian integral dari administrasi kolonial Belanda. Ia memimpikan pendidikan kaumnya, mengakhiri poligami, agensi yang lebih besar bagi perempuan dalam memilih karier dan atau menikah, lebih banyak pelatihan untuk guru, bidan dan dokter di Jawa, serta mengakhiri dominasi dan eksploitasi kolonial. 

Akses Kartini ke pendidikan Barat (Hindia Belanda) dan pemahaman tentang kesetaraan sosial dan kebebasan membawanya ke kesimpulan bahwa perubahan harus dilakukan dalam masyarakat Jawa, terutama yang berkaitan dengan kolonialisme. (Annee Lawrence - DangerousWomanProject.org, 27 September 2016)

Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan

Kartini mengungkapkan kehidupan di masanya yang mengeksploitasi ketidaksetaraan dan diskriminasi oleh stratifikasi sosial berdasarkan status kelahiran. Sebagaimana suratnya kepada Miss EH. Zeehandelaar tanggal 18 Agustus 1899, Kartini menuliskannya dengan jelas:
“Maar om dit alles geven we geen zier. Voor mij bestaan er slechts twee soorten aristocratie: de aristocraat van den geest en de gemoedsadel. Ik vind niets zotter, niets dwazer dan wanneer ik menschen zie, die zich zoozeer op hunne zoogenaamde "hooge geboorte" laten voorstaan. Wat voor een verdienste steekt er toch in een graaf of baron te zijn? Ik kan er met mijn klein verstand niet bij. Adel en edel, tweelingswoorden van nagenoeg denzelfden klank en geheel denzelfden zin! Arme tweelingen! hoe wreed is 't leven voor u, dat u haast altijd meedoogenloos van elkaar gescheiden houdt!”

“Tapi kami tidak peduli dengan semua ini. Bagi saya hanya ada dua jenis aristokrasi: aristokrat pikiran dan roh pikiran. Saya menemukan tidak ada yang bodoh, tidak ada yang lebih bodoh daripada ketika saya melihat orang-orang yang menjadi diri mereka sendiri begitu banyak dalam apa yang disebut "kelahiran tinggi" (status) mereka. Apakah ada gunanya menjadi Count atau Baron? Saya bisa (katakan) tidak dengan pikiran kecilku. Bangsawan dan mulia, kata-kata kembar yang hampir sama dan kalimat utuh yang sama! Kembar yang malang! betapa kejam hidup bagi Anda, bahwa Anda hampir tanpa henti dipisahkan satu sama lain!"

Sebaliknya, dalam surat yang sama, Kartini menerapkan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan dalam hubungan antar pribadi.
“Vrijheid, gelijkheid en broederschap! De zusjes en broertjes gaan met mij en onder elkaar als vrije, gelijke kameraadjes om. Onder ons geen stijfheid, 't is enkel vriendschap en hartelijkheid wat je ziet in onze verhouding onderling.”

“Kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan! Semua saudara sepelatihan pergi bersama saya dan bebas di antara satu dengan yang lain, kawan yang setara. Tidak ada kekakuan di antara kita, itu hanya persahabatan dan keramahan yang Anda lihat dalam hubungan timbal balik kami.”

Bagi Kartini, menulis surat adalah sarana ekspresif yang menghubungkannya dengan dunia buku dan membuat makna filosofis sehubungan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal tradisi harus menikah serta hak kebebasan memilih suami, Kartini menuliskan kegelisahannya sebagai berikut:
“Er valt niets te veranderen; op den een of anderen dag zal het gebeuren, moèt het gebeuren, dat ik een onbekenden echtgenoot volg. Liefde is een sprookje in onze Javaansche wereld! Hoe kunnen man en vrouw elkaar liefhebben, als zij elkaar voor't eerst van hun leven zien, wanneer ze reeds goed en wel met elkaar door't huwelijk verbonden zijn? Ik zal nooit, nooit_ kunnen liefhebben. Om lief te hebben, moet er eerst achting zijn, naar mijn meening, en ik kan geen achting hebben voor de Javaansche jonge mannen.” (Surat kepada EH. Zeehandelaar, 6 November 1899)

“Tidak ada yang bisa diubah; suatu hari nanti akan terjadi, pasti saya mengikuti suami yang tidak dikenal. Cinta itu satu dongeng di dunia Jawa kita! Bagaimana bisa pria dan wanita saling bertemu cinta jika mereka melihat satu sama lain untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, ketika mereka sudah terhubung dengan baik dan baik oleh pernikahan? Aku tidak akan pernah, tidak pernah, cinta. Untuk mencintai, harus ada menghargai dulu, menurut pendapat saya, dan saya tidak bisa memiliki harga diri untuk pemuda Jawa.”

Sedangkan di bagian lainnya, Kartini menyesalkan norma poligami aristokrat Jawa dengan tulisan yang sarat makna.
“En wie doet zulks niet? En waarom zal men het niet doen? 't Is geen zonde, evenmin een schande;…. Zonde noem ik alle daden, die een medemensch lijden doen. Zonde is een ander, mensch of dier pijn doen. En kunt ge u voorstellen, welke hellepijnen een vrouw moet uitstaan, wanneer haar man met een ander thuis komt, die zij als zijne wettige vrouw, hare mededingster moet erkennen? Hij kan haar ten dood toe folteren, mishandelen zooveel hij wil; wanneer hij niet verkiest haar hare vrijheid terug te geven, dan kan zij naar de maan fluiten om recht! Alles voor den man en niets voor de vrouw, zijn onze wet en leer.”

“Dan siapa yang tidak melakukan ini? Dan mengapa mereka tidak melakukannya? Itu bukan kejahatan, juga bukan skandal ... Saya menyebut dosa semua perbuatan, yang (membuat) menderita sesama manusia. Dosa adalah penderitaan, manusia atau hewan yang melakukan itu. Dan bisakah Anda bayangkan rasa sakit luar biasa yang harus dialami seorang wanita ketika suaminya pulang ke rumah dengan orang lain yang harus ia akui sebagai istri sahnya, saingannya? Dia bisa menyiksanya sampai mati, memperlakukannya dengan buruk sebanyak yang dia suka selama dia memilih untuk tidak memberinya kebebasan lagi; dia bisa bersiul ke angin untuk hak-haknya! Segala sesuatu untuk pria dan tidak untuk wanita adalah hukum dan kepercayaan umum kita.”

Tidak disangkal bahwa Kartini adalah seorang visioner yang menyuarakan kesetaraan dan feminisme yang berupaya menerobos batas kebangsawanan Jawa khususnya, dan ketertinggalan kaum perempuan dalam aksesibiltas pendidikan umumnya. Pemikiran ini tumbuh karena pengalaman pribadi, betapapun dalam skala lokalis (Jawa-sentris) namun menunjukkan visi emansipatif yang tumbuh dari seorang perempuan nasionalis yang berani bersuara kepada "kawan kolonialisnya".      

Intelektual, Pendidikan Moral dan Kemajuan Wanita

Kartini yang “baru” berumur 20 tahun, juga mengungkapkan pendapatnya tentang intelektual dan pendidikan moral.
“Maar is een verstandelijke ontwikkeling alles? Wil men werkelijk beschaven, dan moeten verstandelijke ontwikkeling en zedelijke ontwikkeling hand aan hand gaan. En wie kan 't meest voor deze laatste doen, 't meest bijdragen tot de verhooging van 't zedelijk gehalte der menschheid?--de vrouw, de moeder, omdat aan den schoot van de vrouw de mensch zijne allereerste opvoeding ontvangt, het kind daar het eerst leert voelen, denken, spreken. En de allervroegste opvoeding is niet zonder beteekenis voor 't geheele leven. Een der ondeugden, die bij den Javaan zoo noodig den kop moet worden ingedrukt, is ijdelheid; dat zal veel bijdragen tot de welvaart van Java, en wij kunnen daartoe komen alleen door moreele opvoeding.” (Surat kepada Ms. MCE Ovink, 1900)

“Tetapi apakah perkembangan intelektual adalah segalanya? Jika seseorang benar-benar ingin beradab, maka perkembangan intelektual dan perkembangan moral berjalan seiring. Dan siapa yang dapat melakukan yang terbaik untuk yang terakhir, paling berkontribusi untuk meningkatkan kualitas moral kemanusiaan? - istri, ibu, karena pada rahim wanita, pria adalah pengasuhannya yang pertama menerima anak di sana terlebih dahulu untuk merasakan, berpikir, berbicara. Dan itu Pendidikan awal bukan tanpa arti penting bagi kehidupan secara keseluruhan. Salah satu sifat buruk orang Jawa yang harus begitu diperlukan untuk ditekan adalah kesombongan; yang akan berkontribusi banyak bagi kesejahteraan Jawa, dan kita hanya bisa mencapainya melalui pendidikan moral.”

Dalam surat berikutnya, perihal kemajuan wanita disinggung pula. 
"Ten allen tijde is de vooruitgang der vrouw een belangrijke factor tot
volksbeschaving gebleken."
"De intellectueele ontwikkeling der Inlandsche bevolking kan niet
krachtig voortschrijden, indien de vrouw daarbij achterblijft."
"De vrouw, als de draagster der beschaving!" (Surat kepada EH. Zeehandelaar, 9 Januari 1901)

"Kemajuan wanita adalah faktor penting setiap saat (bagi) peradaban.” 
“Perkembangan intelektual populasi penduduk asli tidak mungkin jika wanita itu tertinggal.” 
“Wanita itu, sebagai pembawa peradaban!"

Dalam melihat emansipasi kaum perempuan, Kartini memperjuangkannya melalui penyelenggaraan pendidikan. Ia belajar untuk menjadi guru. Pada tahun 1903, Kartini membuka sekolah dasar pertama untuk anak perempuan penduduk asli Hindia Belanda. Dengan berjalannya waktu, sekolah itu mampu menjaring banyak siswi.

Setahun kemudian, tepatnya 17 September 1904, Kartini meninggal karena komplikasi saat melahirkan. Namun demikian, popularitas kumpulan surat “Door Duisternis Tot Licht” berbuah manis dengan didirikannya sekolah perempuan di pulau Jawa di bawah Yayasan Kartini yang dibentuk oleh pemerintah Belanda.

Feminitas dan Feminisme Dalam Memperingati Hari Kartini

Sesungguhnya, tidak semua perempuan Indonesia telah membaca buah pena tentang pergolakan pikiran dan visi seorang pejuang pendidikan bagi kaum perempuan agar setara dengan kaum pria. Tidak berlebihan jika pembuatan film layar lebar berjudul “Kartini” yang dirilis pada 19 April 2017 adalah salah satu upaya membumikan sosok pejuang feminisme abad 19 itu.
 
Harus diakui, peringatan Hari Kartini dari waktu ke waktu dimaknai sebagai perayaan feminitas sosok perempuan yang lembut dan patuh. Sehingga hal itu diartikulasikan dengan tampilan busana dan keterampilan yang identik dengan feminitas. 

Pereduksian makna Kartini ini terkadang diramaikan dengan atraksi para pria yang sengaja tampil feminin. Penekanan feminitas yang menunjukkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki itu tentu saja semakin jauh dari - jika tidak bisa dikatakan gagal – gerakan feminisme yang diperjuangkan RA. Kartini abad 19.

Menilik jauh sebelum era Kartini, kehadiran perempuan yang menerobos dominasi peran pria dan patriaki telah dibuktikan oleh beberapa nama legendaris seperti Maharani Shima (Kalingga, sekitar 670 M), Dyah Tulodong (Lodoyong, sekitar 1020 M), Tribhuwana Wijayatunggadewi (Majapahit, sekitar 1330 M), Sultanah Nahrasiyah (Kesultanan Pasai, sekitar 1410 M), dan lain-lain.        

Akhirnya, pendefinisian feminisme (istilah yang mulai digunakan pada tahun 1890-an, hampir bersamaan dengan waktu Kartini dipingit) secara luas adalah advokasi kesetaraan hak-hak perempuan dalam hal politik, sosial, dan ekonomi. Masyarakat negara yang damai, inklusif dan maju memungkinkan peluang partisipasi dari semua peran gender, sambil menjaga masyarakat negara ini untuk generasi berikutnya. 

Maka sebagaimana Kartini mengingatkan bahwa kemajuan wanita adalah faktor yang setiap saat penting bagi peradaban, tepatlah kiranya jika Bung Karno memberikan tekanan pula: “Kita tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat jika (antara lain) kita tidak mengerti soal-soal wanita.”

Dan kita tahu bahwa Kartini telah membuka dan membukukannya.

SELAMAT MERAYAKAN HARI KARTINI
21 APRIL 2019

Quote