Ikuti Kami

Mandat Moral-Etik Demokrasi Deliberatif Sang Proklamator

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua Pemenangan Ganjarian Spartan Community Sulawesi Selatan.

Mandat Moral-Etik Demokrasi Deliberatif Sang Proklamator
Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua Pemenangan Ganjarian Spartan Community Sulawesi Selatan.

Jakarta, Gesuri.id - Adil dan beradab dalam sila Pancasila sebagai pemaknaan politik berkeadaban adalah prinsip dalam membangun cita-cita luhur peradaban demokrasi bangsa Indonesia, serta haluan ideologi konstitusional bagi setiap institusi negara yang wajib dijunjung tinggi. 

Artikulasi penekanannya bahwa, konsistensi edukasi moral-etik pada "ruang politik-publik" adalah hal yang sangat prinsipil di atas segala-galanya, sebagai tujuan pembentukan makna peradaban demokrasi sebagaimana cita-cita luhur Pancasila itu sendiri. 

Dalam pembacaan eskalasi kontestasi politik sehubungan dengan proses di Mahkamah Konstitusi, kasat mata telah terjadi polemik yang luar biasa, dan kemudian konsekuensi logisnya telah membuat sebagian besar masyarakat menjadi antipati. 

Produk keputusan yang "terlegitimasi secara konstitusional", sangat mencederai rasa keadilan oleh "motif politik". Setidaknya itulah kenyataan dalam pembacaan perspektif publik, sebagaimana terlihat telah melenceng jauh dari etika kepatutan dalam penilaian akal sehat. 

Tentunya hal tersebut rasionalisasinya ditopang dengan "gugatan-kritik" analisis hukum dari para pakar dan akademisi hukum tata negara, hingga bergulirnya proses MKMK.

Semuanya telah terlanjur menjadi "tontonan vulgar" menuju proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 mendatang, yang digenapkan dengan migrasi kader partai atau bajak membajak kader partai terjadi "begitu cepatnya".

Pastinya ada yang memahaminya karena motif kepentingan pragmatisme elektoral semata untuk meraih kuasa, dan juga ada yang masih menganggapnya sebagai strategi permainan catur elit politisi dengan "narasi absurdnya", bahwa semua itu adalah atas tujuan penyelamatan pondasi akan keberlanjutan visi misi rencana pembangunan, menyongsong masa keemasan Indonesia pada masa mendatang. 

Dalam menatap kenyataan eskalasi yang terjadi di permukaan, argumentasi kritik para pakar hukum tata negara dan akademisi pemerhati demokrasi, hingga budayawan sangat penting untuk dicermati bersama, setidaknya sebagai pijakan dalam memperkaya wacana edukasi dalam berdemokrasi. Sekali lagi, dari pembacaan berbagai preferensi pro dan kontra dalam debatebel dialektikanya, fokusnya adalah pada soal komitmen untuk membangun karakter nilai luhur berdemokrasi dalam makna keadabannya - yang semestinya menjadi landasan prinsipnya, karena itulah satu-satunya cara menuju peradaban politik demokrasi substansial dan bukan selainnya. 

Mengingat ancaman terbesar tujuan demokrasi berkeadaban dalam keberlangsungannya, ketika prosesnya selalu saja terjebak pada pragmatisme perebutan kuasa jangka pendek. Sebagaimana yang selalu saja terlihat seakan kita berputar dalam "pusaran irasional" pada prosedural lima tahunan, yang kemudian memicu pertanyaan, "apakah konsekuensinya akan menjadi kerusakan berkelanjutan? - karena faktanya setiap upaya percobaan perubahan selalu saja muncul berbagai tekanan pragmatismenya. 

Rasionalitas-etik berdemokrasi

Dalam konteks historis, cita-cita ideologis berbangsa dan bernegara yang diwariskan para pendiri bangsa, telah memberikan landasannya dengan konsep demokrasi deliberatif yang sangat luar biasa. Sebagaimana konstruksi konsep keadilan yang terdapat pada muatan konsensus BPUPKI dan PPKI, yang rumusannya disempurnakan menjadi Pancasila dan pembukaan UUD 1945.

Fakta sejarah tersebut, tentang bagaimana para pendiri bangsa merumuskan dan mewariskan nilai-nilai dan skema gagasan pada sistem politik-demokrasi, hukum, ekonomi, dan karakter kearifan sosial budaya bangsa. Saripati pemikiran gagasan sang Proklamator Bung Karno dan Bung Hatta dalam sidang BPUPKI dan PPKI, telah memberikan peta konseptual dan sekaligus praktis untuk mewujudkan masa depan peradaban Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial (Lihat, Jalan Menuju Keadilan, Telaah Etika Politik Mazhab Frankfurt Generasi II, Althien J. Pesurnay, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2021). 

Diksi hikmat-kebijaksanaan dalam sila keempat Pancasila berorientasi pada penekanan rasionalitas-etik, bahwa "makna kerakyatan" bukanlah sekedar melihat posisi kedudukan masyarakat yang kemudian hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral. Tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah syarat utama dalam menjalankan sistem berdemokrasi itu sendiri, atau dengan kata lain aktualisasi moral-etik berkeadilan sebagai penegasan landasannya. 

Problem maraknya "ungkapan privilege" dalam atmosfer eskalasi perpolitikan kita belakangan ini, seakan mengkonfirmasi sebuah indikasi  mundurnya proses demokrasi kita. Padahal prinsip kesetaraan (egaliter) adalah pilar utamanya, dan pastinya bahwa kebijakan setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi mewajibkan memberikan kesempatan dalam menciptakan ruang kesetaraan bagi setiap warga negara dalam proses mekanismenya, tanpa terkecuali. 

Memanifestasikan rasionalitas-etik atau hikmat-kebijaksanaan dalam berbagai konteks proses politik merupakan muatan dan tujuan argumentatif demokrasi deliberatif. Sebagai harapan konsensus pada setiap proses mekanisme penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri, agar komitmen keadilan dapat menemukan pola sintesis terbaiknya. Konsep pendalaman teori demokrasi deliberatif seorang filsuf dan sosiolog Jerman terkemuka Jurgen Habermas, memberikan salah satu kerangka analitiknya pada etika diskursus sebagai syarat untuk terpenuhinya tujuan keadilan sosial. 

Artikulasinya ruang politik-publik harus menjalankan sebuah prosedur diskursus komunikatif, kesetaraan, transparansi, dan  refleksi kritik - tentang kehendak publik dalam setiap tuntutan akan keadilan berdasarkan muatan argumentasinya harus dijamin dalam norma legal-konstitusionalnya. Tentunya harapan dan cita-cita bersama meminimalisir berbagai tantangan jalan terjal proses demokrasi kita, harusnya menjadi komitmen nyata bagi negara ke depannya, salah satunya adalah dengan cara membangun kualitas proses pencerdasan di masyarakat. 

Mengutip cendikiawan penggiat Pancasila Dr. Yudi Latif, bahwa dalam upaya membumikan dan mengembangkan nalar-etik maka konstitusi mengamanatkan misi ketiga Pemerintah Negara Indonesia, adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan dasar imperatif konstitusi itu, seharusnya arah salah satu prioritas utama dari pembangunan nasional merupakan gerak berkesinambungan dalam upaya peningkatan kecerdasan (nalar-etik) anak-anak bangsa di berbagai bidang pada segmen kehidupan. Terutama pada aspek edukasi dari setiap implikasi proses perjalanan politik-hukum di negara kita.

Dan sampailah pada puncak tuntutannya yang menggugat sebuah tontonan absurditas, yaitu, "legitimasi kekuasaan seperti apa yang ingin dihasilkan bagi masa depan bangsa Indonesia, ketika prosesnya mencederai prinsip rasionalitas-etiknya? 

Sebagaimana tuntutan kewajiban berkeadilan atas mandat Pancasila yang merupakan warisan nilai-nilai luhur dan paling berharga dari sang Proklamator.

Quote