Ikuti Kami

Merawat Kewarasan Publik dengan Melawan Ujaran Kebencian

Segenap kader PDI Perjuangan, harus partisipatif menjaga kewarasan publik. Ruang publik harus disehatkan dengan melawan ujaran kebencian

Merawat Kewarasan Publik dengan Melawan Ujaran Kebencian
Peringatan Nuzulul Quran Tingkat Nasional Tahun 1437H/2016M, Selasa (21/6), di Istana Negara, Jakarta. (Foto: Humas/Oji)

KALIAN boleh mengeritik segala kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. 

Bagi pemerintah, itu sebuah vitamin. Dan jika memang kritik untuk membangun, pemerintah pasti akan melakukan evaluasi untuk berbenah. Karena tidak ada yang sempurna.

Tapi janganlah karena kebencian terhadap seseorang, dengan seenak hati kalian merendahkan harkat martabat seorang manusia. Hargai orang lain, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama seperti anda. Apalagi ia adalah seorang Kepala Negara yang secara legitimate dipilih mayoritas masyarakat secara demokratis.

Jika memang dengan memposting cacian atau ujaran kebencian kepada kepala negara dengan kata-kata sampah itu bisa memuaskan kalian, lakukanlah.

Tapi ingat, yang terluka bukan hanya seorang Presiden saja. Namun, yang tersayat hatinya mereka puluhan juta masyarakat pemilihnya. Ada perasaan seorang ibu yang telah melahirkannya. Anak, istri dan cucunya.

Bayangkan apa reaksi cucu Presiden, Jan Ethes yang sekarang masih menggemaskan di usia balitanya, nanti saat 5-10 tahun kemudian ketika ia melihat di sosial media ada jejak digital kakeknya pernah dibully sedemikian parahnya ketika menjadi Presiden. Jan Ethes pasti bangga, kakeknya selalu menghadapi itu semua dengan senyum. Tak pernah marah dan kerap memaafkan.

Meski kakeknya Jan Ethes dihina, dicaci maki seperti barang najis. Bahkan lebih rendah lagi mereka hina selayaknya binatang. Ingat, kalau kalian beragama, bukankah fitnah dan menghina orang yang beriman itu seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. 

Jika memang kalian bertuhan, tidak mungkin kalian menghina presiden dengan keji. Apalagi menyebar ujaran kebencian dan hoax. Apalagi yang kalian hina adalah seorang pemimpin Bangsa. Kepala Negara, Presiden yang jika keluar negeri saja ada penyambutan kehormatan kenegaraan.  

Di dunia maya, akun-akun palsu dari pihak lawan masih bergentayangan menyerang presiden dan partainya: PDI Perjuangan secara membabi buta.

Beberapa waktu lalu sebuah akun menghina Presiden Jokowi dengan kata "Jokowi ng*n*ot istri orang". Dan bukan sekali ini saja. Dulu waktu Pilpres 2014, foto Jokowi dan Ibu Megawati diedit dengan kejinya menjadi sebuah gambar tidak senonoh.

Meski UU ITE sudah ada. Dan sudah banyak orang dilaporkan dan ditangkap oleh pihak kepolisian, ujaran kebencian masih saja menghiasi sosial media kita di tahun politik ini.

Sebagai partai paling sering difitnah, seluruh kader PDI Perjuangan harus menjadi pelopor memberangus politik SARA. 
Dengan membangun narasi politik: PDI Perjuangan melawan politik SARA, nilai luhur dalam Bhinneka Tunggal Ika dan Sila ke 3 "Persatuan Nasional" harus terus digelorakan.

Musuh PDI jaman dulu adalah rezim otoritarianisme Orde Baru. Sekarang lawan PDI Perjuangan adalah reinkarnasi Orba yang menjadikan politik identitas sebagai dagangan politiknya.

Gerakan politik yang disiapkan untuk melawan PDI Perjuangan dan menghancurkan NKRI begitu mengerikan. Dananya tidak berseri. Mereka bukan hanya ingin menghancurkan PDI Perjuangan dan kelompok Nasionalis relijius yang mencintai bangsa ini melebihi kecintaan dari dirinya sendiri.

Kader kader PDI Perjuangan harus jadi Banteng Banteng Pancasila yang mengawal keragaman bangsa ini, mentradisikan nilai nilai Nusantara sebagai dasar berbangsa dan bernegara kita. 

Segenap kader PDI Perjuangan, harus aktif partisipatif menjaga kewarasan publik. Ruang publik harus disehatkan dengan melawan segala ujaran kebencian.

Seperti kata Bung Karno, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

Quote