Ikuti Kami

Republik Versus Dinasti Politik

Oleh: Anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021), Komarudin Watubun. 

Republik Versus Dinasti Politik
Gedung Istana Negara.

Jakarta, Gesuri.id - BUKU “The World: A Family History of Humanity”, karya ahli sejarah dan novelis Simon Sebag Montefiore (2022), meraih anugerah ‘best-seller’ atau buku paling laris tahun 2023. Isi buku ini menyebut satu hal yang sama dari sejarah manusia sejak zaman batu (stone age) hingga era drone (drone age), yakni jejak tahta-kuasa-keluarga atau dinasti-politik (dynasty-rule) di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. 

“This book puts the family and families back into the heart of history,” papar Peter Frankopan, penulis buku sangat-laris Silk Roads (2018). Selama ini, setiap dinasti politik menghadapi satu ujian sangat berat yakni suksesi atau pergantian pimpinan.

Montefiore menulis bahwa hanya sedikit dinasti-politik lulus ujian suksesi; sebab suksesi lazim terjadi melalui skandal, intrik, previlese, seks, kisah cinta-perkawinan, insest, pembunuhan, rivalitas, pengkianatan, kekerasan, racun, kebiadaban, kekejaman, zinah, huru-hara, kaos hingga suksesi berdarah.

Jejak suksesi tahta-dinasti itu, misalnya, terjadi pada dinasti Hongwu (Tiongkok), Ewuare Raja Benin, Sayyida al-Hurra (Maroko), Caesars dan Medicis (Italia), Incas (Kolumbia), Ottoman (Turki), Mughal (Asia Selatan), Bonaparte (Perancis), Habsburg (Jerman), Zulus (Zulu), Churchills (Inggris), Bushs dan Kennedys (Amerika Serikat), Castros (Cuba), Nehrus (India), Pahlavi (Iran), Kenyattas (Kenya), Saudi (Arab), Kims (Korea), Assads (Suriah), hingga Vladimir Putin (Rusia) dan Volodymyr Zelensky (Ukraina) saat ini.

Sejak tahun 2015, isu dinasti politik meraih perhatian masyarakat di Indonesia. Awal Juli 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) merilis keputusan terhadap perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015. Isinya ialah Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Bahwa dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, warga negara mengakui hak dan kebebasan orang lain, sesuai ketentuan UU. 

BaCa: Ternyata Ini Zodiak Ganjar Pranowo, Berikut Karakternya

Isi Pasal 7 huruf r UU tersebut adalah:“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: r. “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.” 

Bunyi penjelasan Pasal 7 huruf r UU itu ialah “Tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.” Ini isu nepotisme dan dinasti politik. 

Keputusan MK tahun 2015 berdampak luas. Misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data 58 dinasti politik di Indonesia tahun 2017; Yoes C. Kenawas (2020) menyebut 202 dinasti politik pada pilkada tahun 2015-2018 dan 117 kandidat menang. Sebab UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perppu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, batal berlaku. Aturan ini mencegah ikatan perkawinan dan darah, atau kekerabatan dengan inkumben, tidak boleh menjabat kecuali jeda satu periode.

Nagara Institute (2020) menyebut 124 dinasti politik peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020; tahun 2005-2014, 59 dinasti pilitik peserta pilkada; tahun 2015, 2017, dan 2018, terjadi kenaikan 86 kandidat dinasti politik. Menurut Nagara Institute (2020), kenaikan itu antara lain karena Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. 

Di sisi lain, tahun 2015 disertasi doktor Jiri Sebek dari Charles University di Praha (Ceko), Political Nepotism, menyebut nepotisme di Indonesia. “Nepotistic appointments flourish in a society where a loyalty to family is stronger than a loyalty to the state or to public duty,” tulis Šebek yang mengutip hasil observasi Fiona Robertson-Snape (1999) tentang praktek nepotisme di Indonesia. 

Republik Vs Nepotisme 

Nepotisme berasal dari istilah nipote (keponakan) dan kekerabatan di Italia, papar Montefiore. Bentuknya ialah keuntungan, hak istimewa, atau kedudukan bagi kerabat di bidang bisnis, politik, akademi, hiburan, olahraga, agama, dan kegiatan lainnya.

Di Italia, praktek nipote berasal dari penugasan keponakan pria ke posisi penting oleh paus dan uskup Katolik abad 15-17 M. Paus dan uskup mengucap kaul kesucian dan selibat; mereka memberi posisi khusus kepada keponakan pria guna mempertahankan dinasti keluarga (Signototto, et al., 2002). 

Praktik nipote tidak menerapkan suksesi kepausan secara turun-temurun, ungkap ahli sejarah Kepausan Owen Chadwick (198). Namun praktik nipote akhirnya memiliki makna jahat atau dosa (sinister meaning).  

Karena itu, praktik nipote diakhiri oleh Paus Innosensius XII melalui dokumen resmi (bulla) Romanum decet Pontificem tahun 1692 di Vatikan. Bulla kepausan ini melarang memberi harta, warisan, jabatan, atau penghasilan kepada kerabat-kerabat (A Gurugé, 2010). Bulla ini juga membatasi penunjukan kerabat paus pada jabatan-jabatan di Vatikan. 

Pembatasan nipote (nepotisme) oleh Paus Innosensius XII, menurut riset disertasi Sebek berdasarkan filosofi ‘kesetaraan dan keadilan’. Praktik nipote menghambat keadilan dan kepatutan. Sejak itu di Vatikan, jabatan menteri negara mulai berkembang dan kedudukan nipote merosot.

Bangsa Indonesia memiliki ketetapan tentang larangan nepotisme. Pada 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Pasal 2 ayat (2) Tap MPR RI ini berbunyi, “…penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).” Tiap pejabat publik harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat (Pasal 3 ayat 1 No. XI/MPR/1998). 

Berdasarkan Tap MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan atas Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002, Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 termasuk Tap MPR RI “tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang”. UU No. 8/2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali-kota, juga tidak menyebut ketetapan MPR ini.

Filosofi dasar Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 ialah tanggungjawab penyelenggara negara kepada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ini pula merupakan prinsip dasar susunan republik sejak era pra-Masehi. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Praktiknya bukan hal mudah. 

Kajian Benny Geys (2017) yang dirilis The Economic Journal, mengurai potensi risiko dinasti politik di Italia tahun 1985-2012. Riset itu melibatkan sekitar 540 ribu politisi daerah. Seleksi politik (jabatan) dikontrol oleh politisi; praktik ini tidak melahirkan persaingan adil, tapi ketidak-setaraan kesempatan publik, karena praktik nepotisme dan dinasti politik.

D. Szakonyi (2019) asal George Washington University (AS), meneliti risiko nepotisme terhadap sektor swasta di Republik Federasi Rusia menyimpulkan: “Nepotism creates a class of individuals invested in the current power structure” di Rusia 1999-2004.

Perusahan besar di Rusia, tulis Szakonyi, merekrut anggota keluarga pejabat guna mendapat kontrak bisnis. Nepotisme membentuk kolaborasi oligarki dan dinasti politik yang merugikan masyarakat atau nilai republik, tanpa terkontrol oleh publik.

Oliver Vanden Eynde dan Jonathan Lehne asal Ecole d'economie de Paris dan Yakub N Shapiro (Prancis) asal Princeton University (AS) tahun 2018 merilis hasil riset kontrak pembangunan 88.000 jalan desa tahun 2001-2013 di India. Hasil riset menunjukkan, politisi di 2.632 daerah pemilihan di 24 dari 28 negara bagian India, melakukan intervensi alokasi kontrak atas nama kerabat-sahabatnya. Artinya, nepotisme merugikan kepentingan dan hak masyarakat. 

Risiko kolaborasi dinasti-politik dan oligarki melalui pilkada, papar Wijayanto et al. (2021) dalam ‘Nestapa Demokrasi Di masa Pandemi : Refleksi 2020, Outlook 2021’ ialah kepentingan masyarakat dikesampingkan. 

Proteksi kepentingan umum atau hak masyarakat selama 2.500 tahun terakhir adalah isu, prinsip, dan nilai pokok dari pemerintahan republik.

Etika adalah solusi konflik kepentingan umum republik vs kepentingan privat-nipote. Sebek menulis, “The dispute of public and private interests is resolved in a system of principles, and the chief principles are justice and equality when the public is concerned.” 

Republik vs Dinasti Politik 

Kita baca buku ‘A Prince in a Republic’ atau Pangeran Republik karya John Monfries (2015) tentang Sultan Hamengkubuwono (HB) IX asal Yogyakarta. Pilihan republik adalah wujud sikap-karakter politik Sultan HB IX yang tulus mengorbankan milik, aset, hak, dan properti kesultanan Yogya untuk Republik Indonesia. Sultan HB IX adalah ‘role model’ pemimpin berjiwa dan berkarakter republik. 

Selama 2.500 tahun terakhir, hanya ada satu filosofi dan prinsip pemerintahan anti-korupsi yakni republik. Republik Roma di Italia tahun 509 sebelum Masehi (SM) mengakhiri dinasti politik Raja Lucius Tarquinius Superbus, keturunan Etruscan, yang memerintah Roma tahun 753–509 SM.

Sejak itu, republik menyelenggarakan kekuasaan negara sebagai milik atau properti publik (res publica), bukan milik atau kepentingan orang per orang (monarki) dan golongan (oligarki). Maka suksesi jabatan pemerintahan, bukan berdasarkan hubungan-darah, tetapi pilihan rakyat sesuai kemampuan dan tanggung jawab melindung kepentingan umum. 

Para pendiri Indonesia memilih bentuk republik tahun 1945. Pada 18 Agustus 1945, para pendiri bangsa yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menyepakati Pembukaan UUD 45. 

BaCa: Ganjar Pranowo Berpeluang Dapatkan Trah Gelar Wahyu Mataram

Alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 berbunyi: “Negara RI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” 

Maka praktik korupsi adalah anti-republik. Kita baca data Desember 2016, lonjakan dinasti politik juga seiring dengan lonjakan praktik korupsi di Indonesia. Misalnya, 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga pemerintah, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon I dan sampai eselon III, serta 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi. 

Upaya memperpanjang masa jabatan presiden juga berisiko anti-republik. Sebab Pasal 7 UUD 1945 menetapkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Prinsip pokok sistem presidensil yang dianut oleh UUD 945 antara lain ialah pembatasan masa jabatan presiden menurut UUD. 

Di sisi lain, rujukan putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 ialah Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, pelaksanaan HAM harus menerapkan ‘prinsip merugikan’ (harm principle) atau sejauh tidak merugikan hak-hak orang lain dan kepentingan umum. 

Filsuf John Stuart Mill (1879) asal Inggris misalnya mengadopsi prinsip Paus Inosentius XII abad 17 M bahwa nipote ditolerir sejauh tidak berisiko melanggar nilai keadilan dan kesetaraan khususnya hak orang lain dan kepentingan umum (republik).

Quote