Ikuti Kami

Stop Kekerasan Terhadap Perempuan!

Oleh : E.Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan untuk DPR RI, Dapil NTB 2

Stop Kekerasan Terhadap Perempuan!
Oleh : E.Y. Wenny Astuti Achwan, Caleg PDI Perjuangan untuk DPR RI, Dapil NTB 2

SETIAP tahun pada tanggal 25 November, orang-orang dari seluruh dunia bersama-sama menandai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Hari penting global ini diikuti dengan aktifitas selama 16 hari melawan Kekerasan Berbasis Gender, yang berpuncak pada Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember. Tema tahun ini adalah setiap orang memakai oranye untuk membawa ke depan suara-suara perempuan dan anak perempuan selamat dari kekerasan dan suara yang membela hak-hak perempuan setiap hari yang tidak menjadi perhatian media (Orange the World: #HearMeToo).

Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai "tindakan kekerasan berbasis gender apapun yang menghasilkan, atau kemungkinan akan mengakibatkan gangguan fisik, seksual atau mental, atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman tindakan semacam itu, pemaksaan atau pencabutan kebebasan sewenang-wenang, apakah terjadi di depan umum atau di kehidupan pribadi."

Kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan - Fakta yang harus diketahui semua orang

“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” (Mahatma Gandhi, 1869-1948)

Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia, yang merupakan suatu pandemi yang terjadi di masyarakat dan di ruang publik.

Manifestasi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan mengambil bentuk fisik, seksual dan psikologis seperti berikut: kekerasan mitra intim (intimate partner violence), termasuk kekerasan fisik, seksual dan psikologis; kekerasan dan pelecehan seksual (sexual violence and harassment); perdagangan manusia dan eksploitasi seksual (human trafficking and sexual exploitation); mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation); pernikahan paksa dan dini (child marriage); penghilangan nyawa dengan sengaja (femicide).

Kekerasan mitra intim  mengacu pada perilaku oleh pasangan intim atau mantan pasangan yang menyebabkan gangguan fisik, seksual atau psikologis, termasuk agresi fisik, paksaan seksual, kekerasan psikologis, dan kontrol perilaku.

Sedangkan kekerasan seksual diartikan sebagai tindakan seksual apapun, upaya untuk mendapatkan tindakan seksual, atau tindakan lain yang ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan, oleh siapapun terlepas dari hubungan mereka dengan korban, dalam pengaturan apapun. Ini termasuk perkosaan.

Hampir sepertiga (30%) dari semua wanita yang telah menjalin hubungan mengalami kekerasan fisik dan/ atau seksual oleh pasangan intim mereka. Perkiraan prevalensi kekerasan pasangan intim berkisar dari 23,2% di negara-negara berpenghasilan tinggi dan 24,6% di wilayah WHO Pasifik Barat hingga 37% di wilayah WHO Mediterania Timur, dan 37,7% di wilayah WHO Asia Tenggara.

Secara global sebanyak 38% dari semua pembunuhan wanita dilakukan oleh pasangan intim. Selain kekerasan pasangan intim, secara global 7% wanita melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh orang lain selain pasangan, meskipun data untuk kekerasan seksual non-mitra lebih terbatas. Pasangan intim dan kekerasan seksual sebagian besar dilakukan oleh pria terhadap wanita.

Dampak yang ditimbulkan dan pencegahan yang diperlukan

Anak-anak yang tumbuh dalam suasana kekerasan dalam keluarga dapat menderita berbagai gangguan perilaku dan emosional. Hal ini juga berpengaruh kepada perilaku maupun pengalaman kekerasan di kemudian hari. Kekerasan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi para perempuan dan anak-anaknya.

Biaya sosial dan ekonomi akibat kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual sangat besar dan memiliki efek gelombang di lingkungan masyarakat. Perempuan korban mungkin menderita isolasi, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan upah/ pendapatan, kurangnya partisipasi dalam kegiatan rutin serta memiliki kemampuan terbatas untuk merawat diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Beberapa strategi pencegahan dalam pangsa masyarakat rendah sumber daya yang bisa dilaksanakan antara lain: memberdayakan perempuan secara ekonomi dan sosial melalui kombinasi pelatihan keuangan sederhana/ mikro dan keterampilan komunikasi dan hubungan baik dengan pasangannya sendiri maupun dalam komunitasnya. Juga melalui pendidikan partisipatif berbasis kelompok yang terdiri dari perempuan dan laki-laki untuk menghasilkan refleksi kritis tentang ketidaksetaraan gender dan norma sosial yang tidak setara.

Selain itu, untuk mencapai perubahan yang permanen, penting untuk memperlakukan penegakan hukum dan menerapkan kebijakan yang mempromosikan kesetaraan gender. Misalnya, meningkatkan akses perempuan ke pendidikan dan pekerjaan.

Sebagaimana diuraikan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah masalah kesehatan masyarakat, maka pencegahannyapun membutuhkan peran penting kesehatan masyarakat lintas sektor. Intervensi tindakan juga diperlukan untuk memberikan perawatan dan dukungan bagi perempuan yang mengalami kekerasan. Semua karya dan kerja lintas sektor ini untuk mengakhiri secara tuntas kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada tahun 2030.  

Tidak meninggalkan siapa pun di belakang

Pada April 2016, WHO bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional, Kementerian Kesehatan dan BPS berkomitmen untuk memperkuat kapasitas Indonesia untuk pemantauan ketidaksetaraan kesehatan. Ini penting, antara lain untuk memahami besaran dan sifat masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks pemantauan untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB, Sustainable Development Goals/ SDG’s).

TPB dibangun di atas prinsip Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals/ MDG’s) dengan memberikan panduan yang jelas sampai dengan 2030 sehingga tidak ada satupun perempuan, laki-laki dan anak yang tertinggal kelak.

Salah satu prinsip utama dalam pelaksanaan TPB adalah “tidak meninggalkan siapapun di belakang” (no one left behind), dan kegiatan yang dilaksanakan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Inilah tugas dan peran kesehatan masyarakat dengan pendekatan yang tidak cukup secara multidisipliner, tetapi harus transdisipliner yang melibatkan seluruh stakeholders untuk bersama-sama mencapai target yang ditetapkan, yaitu menuju masyarakat sejahtera. Tanpa ada yang ditinggal.

Selamat Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional
25 NOPEMBER 2018

Quote