Jakarta, Gesuri.id — Bupati Trenggalek, Muchammad Arifin, seorang kader PDI Perjuangan yang berlatar santri, berbagi kisah tentang bagaimana ia menerjemahkan ajaran Bung Karno dan Megawati Soekarnoputri dalam kepemimpinannya.
Ia menekankan pentingnya menyatukan nasionalisme dan Islam, bukan sebagai dua hal yang berseberangan, melainkan sebagai kekuatan moral dan sosial yang membangun bangsa.
Pernyataan itu disampaikan dalam Diskusi Hari Santri di Sekolah Partai PDI Perjuangan, Jakarta Selatan, Rabu (22/10/2025).
Arifin menceritakan perjalanan pribadinya menelusuri jejak Bung Karno. Sebelum menulis buku, ia sowan ke para kiai dan ulama untuk meminta restu. Salah satu kisah yang membekas datang dari Romo Kiai Husen Ilyas, pengasuh Ponpes Al-Misbar Mojokerto, yang menyampaikan bahwa Bung Karno semasa muda sering tinggal di rumahnya dan rutin membaca Al-Qur’an setiap habis Magrib.
“Suaranya Bung Karno waktu baca Al-Qur’an enak,” ujar Arifin menirukan sang kiai.
Dari pengalaman itu, Arifin meyakini perjuangan Bung Karno sejalan dengan perjuangan Rasulullah: menyatukan semangat kebangsaan dan nilai-nilai Islam yang memerdekakan.
“Nasionalisme dan Islamnya dapat dua-duanya. Jadi saya meyakini di PDI Perjuangan bisa jadi amal jariyah saya,” tegasnya.
Arifin menilai ajaran Bung Karno tentang politik menuntut, tidak lagi meminta-minta merupakan wujud Islam progresif yang menyeru manusia untuk bangkit dan memperjuangkan keadilan. Ia juga mengaitkan visi merawat pertiwi dari Megawati Soekarnoputri dengan konsep khalifah fil ardh dalam Islam—tugas manusia menjaga bumi sebagai bentuk ibadah.
“Ini bukan hanya soal pertahanan terhadap perang, tapi juga krisis iklim seperti yang dirisaukan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri,” jelas Arifin.
Dalam kepemimpinannya di Trenggalek, Arifin menjalankan nilai itu lewat program yang membuka ruang bagi santri dan anak muda untuk berperan aktif. Salah satunya adalah Festival Gagasan, wadah bagi generasi muda untuk menyampaikan ide pembangunan.
“Santri Muhammadiyah punya bank sampah, kemudian diuji oleh panelis. Kalau lolos, usulan itu didanai APBD dan jadi bagian dari 10 program prioritas kabupaten,” terang Arifin.
Suasana diskusi semakin hidup ketika para peserta muda ikut berbagi pengalaman dan pandangan.
Ketua Umum Kopri PB PMII, Wulansari, menyoroti keresahan anak muda terhadap krisis identitas dan pentingnya membangun karakter kepemimpinan yang berakar pada ilmu dan nilai kebangsaan.
“Ciri seorang santri itu mengabdi pada ilmu. Kita lebih mudah takjub pada orang-orang berkelas karena keilmuannya,” ujar Wulansari.
Sementara Hawra Tustari, seorang pilot muda berprestasi di tingkat internasional, mengungkap pandangan generasinya yang realistis terhadap sistem sosial dan politik.
“Anak muda itu bukan apatis tapi realistis. Kita lihat sistem itu gitu-gitu aja, ganti presiden, ganti pemimpin, ya gitu-gitu aja. Tapi bukan berarti kita berhenti berharap,” kata Hawra.
Hawra berharap semangat go internasional anak muda tetap diimbangi dengan tekad untuk kembali membangun Indonesia.

















































































