Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan pentingnya perlindungan jaminan kesehatan bagi insan pers di tengah perubahan ekosistem media dan tantangan validitas data peserta BPJS. Ia menilai negara wajib hadir memastikan pekerja media memperoleh hak konstitusional atas jaminan sosial, tanpa terkecuali.
“Insan pers bukan hanya ‘kuli tinta’, tetapi juga pewarta pejuang yang turut mendorong lahirnya sistem jaminan sosial di Indonesia,” tegasnya.
Politisi Fraksi PDI Perjuangan yang juga dikenal dengan panggilan Oneng ini mengingatkan bahwa media memiliki peran besar dalam proses kelahiran Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan BPJS.
“Waktu itu, 28 Oktober 2011, lahirlah Undang-Undang BPJS dengan dua penyelenggara, yaitu BPJS Kesehatan serta BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini juga karena dukungan dari teman-teman media di DPR. Kalau tidak ada teman-teman media waktu itu, saya kira tidak mungkin kita (bisa mengesahkan Undang-Undang BPJS),” lanjutnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Rieke dalam forum diskusi Dialektika Demokrasi bertema Optimalisasi Perlindungan Jaminan Kesehatan bagi Insan Pers yang digelar oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Rieke menekankan bahwa jaminan sosial adalah hak konstitusional seluruh rakyat, termasuk pekerja media yang kini banyak beralih ke sektor digital. Ia mendorong adanya model perlindungan baru yang mampu menjangkau pekerja media daring agar tidak terabaikan dari sistem jaminan kesehatan nasional.
Lebih lanjut, Rieke juga menegaskan pentingnya peran negara dalam menjamin keberlanjutan perlindungan kesehatan bagi pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
“Siapapun yang kehilangan pekerjaan maka selama 6 bulan iurannya ditanggung oleh BPJS. Kehilangan pekerja 6 bulan ditambah BPJS Kesehatan pekerja secara otomatis beralih ke peserta penerima bantuan iuran yang iurannya ditanggung oleh negara,” tegasnya.
Politisi PDI Perjuangan tersebut juga menyoroti persoalan akurasi data peserta BPJS Kesehatan yang dinilainya masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Ia menyebut, terdapat sekitar 51,5 juta peserta fiktif dengan potensi kerugian negara mencapai Rp126 triliun per tahun.
“Negara harus memperbaiki metodologi pendataan penerima bantuan iuran. Tanpa itu, kebijakan pemutihan data tidak akan berjalan baik,” jelasnya.
Rieke mengungkapkan, DPR saat ini tengah mengawasi penggunaan anggaran tambahan BPJS Kesehatan sebesar Rp400 miliar untuk tahun 2025, serta alokasi Rp6 triliun untuk tahun 2026. Ia berharap Komisi IX DPR dapat memperketat pengawasan agar dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
“Saya tidak takut mengurus soal rakyat. Yang saya khawatirkan justru data negara dipermainkan, uang negara berantakan,” pungkasnya.
















































































