Ikuti Kami

Deddy Sitorus Kritisi Cak Imin Sebut Pilkada Langsung Tak Efektif: Mau Mundur ke Belakang?

Wacana tersebut perlu dikaji secara serius karena menyangkut masa depan demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya.

Deddy Sitorus Kritisi Cak Imin Sebut Pilkada Langsung Tak Efektif: Mau Mundur ke Belakang?
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, menanggapi pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyebut sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung tidak efektif. 

Menurut Deddy, wacana tersebut perlu dikaji secara serius karena menyangkut masa depan demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya.

"Pertanyaannya, apakah kita mau mundur ke belakang di mana rakyat tidak terlibat dalam memilih pemimpin mereka? Bangsa-bangsa lain terus berusaha memperbaiki peradaban demokrasi mereka, kenapa kita justru ingin kembali dipangku oleh adab masa lalu yang buruk?" kata Deddy, Selasa (23/12/2025).

Deddy menjelaskan, sistem pilkada langsung yang saat ini diterapkan merupakan hasil evaluasi dari mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD yang pernah berlaku sebelumnya. Ia menilai, sistem lama tersebut menyisakan banyak persoalan serius dalam praktik demokrasi di Indonesia.

"Dulu kita mengubah pemilihan kepala daerah dari DPRD menjadi pemilihan langsung karena terlalu banyak negatifnya. Misalnya politik uang dalam pemilihan kepala daerah, politik kekuasaan dan politisasi hukum yang melakukan intervensi dalam pemilihan," ucap Deddy.

"Tidak adanya ikatan (bonding) kepala daerah dengan masyarakatnya, menipisnya akuntabilitas kepala daerah terhadap pemilih, dan banyak dampak negatif lainnya," sambungnya.

Ia juga menepis anggapan bahwa besarnya biaya penyelenggaraan pilkada dapat dijadikan alasan untuk menghapus sistem pemilihan langsung. Menurut Deddy, biaya tersebut justru bisa ditekan melalui pengaturan jadwal pemilu yang lebih efisien.

"Jika pemilihan kepala daerah dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah, itu tidak bisa jadi pembenaran. Pilkada bisa disatukan dengan pemilu legislatif atau dengan pemilihan presiden untuk meniadakan biaya pelaksanaan pilkada," jelasnya.

"KPU, Bawaslu, dan instrumen hukum lainnya bisa 'dipaksa' untuk menekan pemborosan kampanye dan politik uang. Justru pemborosan biaya kandidat sering kali adalah dampak dari ketidakbecusan partai politik, mulai kaderisasi, rekrutmen paslon, hingga mahar parpol," tambahnya.

Lebih lanjut, Deddy menilai terlalu berlebihan jika biaya besar dalam pilkada langsung dikaitkan secara langsung dengan kecenderungan perilaku koruptif kepala daerah. Ia menegaskan, praktik korupsi tidak berdiri pada satu faktor tunggal.

"Juga sangat berlebihan jika mengaitkan biaya besar pilkada dengan kecenderungan perilaku koruptif kepala daerah. Biaya kampanye hanya salah satu faktor dan bukan faktor paling determinan," ujar Deddy.

"Banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya korupsi oleh kepala daerah. Pertama, tentu dari karakter dan integritas kepala daerah itu sendiri. Kedua, sistem pengelolaan dan pengawasan anggaran serta kebijakan publik. Ketiga, pengawasan publik baik melalui DPRD, media massa, maupun kinerja aparat hukum," tambahnya.

Deddy pun meminta agar wacana penerapan pilkada tertutup atau pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak diputuskan secara tergesa-gesa. 

Ia menekankan pentingnya kajian mendalam dengan melibatkan berbagai elemen bangsa agar kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.

"Hemat kami, soal pilkada tertutup oleh DPRD ini baiknya didalami dulu dengan berbagai elemen bangsa. Hendaknya keinginan memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah itu datang dari kehendak menjadikan bangsa ini lebih maju peradabannya. Bukan sekedar menjalankan agenda oligarki politik yang tidak linier dengan keinginan rakyat secara umum," pungkasnya.

Quote