Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI Dapil Jatim XI Madura, Hj Ansari beri atensi khusus akan kasus seorang ibu berinisial SE (30) tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang berusia 7 tahun dengan cara menyetrika pada bagian tangan dan kaki di Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Kasus penganiayaan yang terjadi pada 18 Oktober 2025, akhirnya terbongkar setelah ayah kandung korban berinisial SI melapor ke polisi, di mana kasus yang menimpa anak laki-laki berusia 7 tahun tersebut ditangani serius oleh Unit PPA Polresta Pangkalpinang.
Baca: Kisah Unik Ganjar Pranowo di Masa Kecilnya untuk Membantu Ibu
Dari kasus tersebut, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mendorong perlunya penyelesaian secara tepat dengan mengedepankan hukum restoratif.
“Tentu kami sangat sedih mendengar kasus yang terjadi di Pangkal Pinang, terlebih pelaku merupakan orang yang seharusnya menjadi pelindung terdekat,” kata Hj Ansari di Pamekasan, Jum’at (7/11).
“Namun faktanya justru seorang ibu yang seharusnya menjadi pelindung justru bisa melakukan kekerasan dengan cara seperti itu, dan tentunya kami sangat prihatin karena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, trennya terus meningkat,” ungkapnya.
Dalam kasus tersebut, pendekatan keadilan restoratif bisa menjadi opsi terbaik karena tidak melepaskan aspek hukum dan pada saat yang sama, sekaligus menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
“Ibu kandung sebagai pelaku tetap harus mendapat hukuman karena melakukan kekerasan, namun proses memulihkan korban dan membangun kembali hubungan keluarga agar lebih aman juga penting,” imbuhnya.
“Namun kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu berdiri sendiri, artinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi, seperti ekonomi, sosial, budaya hingga relasi suami istri. Karena itu, regulasi seperti Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak harus diterapkan secara tepat,” tegasnya.
Politisi perempuan yang juga tercatat sebagai anggota Komisi VIII DPR RI, juga menilai pendekatan keadilan restoratif sebagai opsi konkrit. “Dengan restoratif, ibu mengakui akan kesalahan yang diperbuat, serta bertanggung jawab dan ada kesediaan memperbaikinya demi masa depan anak. Sehingga perlu mediasi dengan melibatkan psikolog dan proses hukum tetap memperhatikan asas kepentingan terbaik untuk anak atau best interest of the child,” jelasnya.
Baca: Ganjar Tekankan Kepemimpinan Strategis yang Berani Ambil
“Secara umum kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi tanpa diawali niat jahat dari pelaku, tapi terkadang dipicu akumulasi stres, trauma, sosial dan konflik peran. Sehingga pemahaman akan undang-undang yang memberikan perlindungan juga harus dipahamkan secara lebih mengakar kepada masyarakat,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Pihkanya juga menyatakan jika kasus tersebut dapat menjadi alarm pemahaman orang tua di Indonesia terhadap jaminan perlindungan anak masih belum kuat.
“Untuk itu pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA perlu meningkatkan sosialisasi terkait regulasi dan membuat langkah pencegahan secara lebih strategis,” pungkasnya.
















































































