Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, menegaskan proses kodifikasi hukum pemilu tidak hanya membawa manfaat besar bagi kepastian regulasi, tetapi juga menghadirkan sejumlah konsekuensi yang harus dipersiapkan dengan matang.
Ia menilai bahwa kodifikasi merupakan langkah strategis pembenahan sistem demokrasi, namun keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kesiapan institusi penyelenggara pemilu dalam mengantisipasi perubahan.
Dalam penjelasannya, Aria Bima mengatakan, “Selain manfaat kodifikasi, juga membawa beberapa konsekuensi yang harus disiapkan sejak awal. Kodifikasi dapat menjadi kurang luas ketika pembaruan teknis dibutuhkan secara cepat. Misalnya terkait perkembangan teknologi atau tata kelola data pemilih. Ini bukan pertanda bahwa gagasannya kurang tepat, melainkan pengingat bahwa keberhasilan kodifikasi bergantung pada kesiapan kelembagaan untuk mengelola perubahan secara efektif,” kata Aria, dikutip Senin (8/12/2025).
Aria Bima menambahkan sisi tantangan tidak dapat dihindari, terutama ketika kodifikasi menyatukan rezim pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah dalam satu kerangka hukum.
Menurutnya, penyatuan tersebut akan mengubah struktur kerja penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP, sehingga seluruh desain teknis dan kewenangan harus disesuaikan.
“Tantangan lain muncul pada masa transisi. Ketika rejim pemilu dan berkada disatukan, maka struktur kemenangan penyelenggara juga perlu disesuaikan. KPU perlu menata kembali desain teknisnya. Bawaslu menyesuaikan pola pengawasan dan DKPP memastikan batas yuridiksi etik tetap jelas. Semua itu memerlukan kesiapan sistemik, bukan hanya keputusan hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa tantangan-tantangan tersebut bukan alasan untuk menolak atau memperlambat langkah kodifikasi. Sebaliknya, hal ini harus menjadi momentum untuk memperkuat kapasitas kelembagaan dan memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemilu secara menyeluruh. Dengan begitu, aturan yang terkodifikasi tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan.
Aria Bima juga menggarisbawahi bahwa perkembangan teknologi pemilu di masa depan menuntut kemampuan adaptasi yang lebih cepat dari lembaga penyelenggara. Tanpa kesiapan teknis dan manajerial, perubahan dapat menjadi beban yang justru menghambat pelaksanaan pemilu. Karena itu, ia mendorong agar penyusunan kodifikasi tetap membuka ruang bagi fleksibilitas regulasi, terutama terkait instrumen teknis yang harus mengikuti dinamika zaman.
Di sisi lain, integrasi kewenangan juga membutuhkan harmonisasi internal antar-lembaga penyelenggara pemilu. Ia menilai bahwa penyesuaian SOP, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta rekonstruksi alur kerja merupakan kebutuhan mendesak yang harus dimasukkan dalam peta jalan kodifikasi.
Aria Bima menekankan bahwa Komisi II DPR RI siap mengawal kerja-kerja pembaruan tersebut melalui proses legislasi yang komprehensif, dialog intensif dengan para pemangku kepentingan, serta penguatan tata kelola kelembagaan pemilu. Karena itu, ia berharap agar kodifikasi hukum pemilu tidak hanya dipahami sebagai penyederhanaan aturan, tetapi juga sebagai upaya besar untuk membangun sistem pemilu yang lebih stabil, modern, dan berintegritas.
“Yang dibutuhkan bukan hanya payung hukum yang seragam,” ujarnya.
“Tetapi juga kesiapan sistemik agar setiap perubahan dapat dikelola dengan baik demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi,” lanjutnya.
Dengan berbagai konsekuensi yang harus diantisipasi tersebut, Aria Bima menegaskan komitmen DPR untuk memastikan kodifikasi berjalan tidak tergesa-gesa, tetapi tetap progresif dan berorientasi pada penguatan kualitas pemilu di Indonesia.

















































































