Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI, Bonnie Triyana, menilai penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai bentuk pengingkaran negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.
“Saya boleh katakan kemarin adalah deklarasi nasional pengingkaran negara atas kejahatan pelanggaran HAM berat. Jadi kemarin itu bukan hari pahlawan, tapi juga deklarasi nasional tentang pengingkaran negara,” ujar Bonnie dalam diskusi KBR Ruang Publik bertajuk Usai Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional, secara daring, Selasa (11/11).
Menurutnya, pemberian gelar tersebut mengabaikan fakta sejarah, terutama terkait berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto.
Baca: Ganjar Ajak Kader Banteng NTB Selalu Introspeksi Diri
"Saya melihat adanya upaya untuk mengingkari berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu di era Soeharto. Yang saya khawatirkan, bagaimana kita mau mengajarkan sejarah pada anak-anak muda,” kata Bonnie.
Bonnie juga menyoroti kondisi kebebasan pers di masa Orde Baru yang diberedel oleh rezim Soeharto. Ia mempertanyakan bagaimana tindakan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari kepahlawanan.
“Bagaimana kita mau mengatakan pers diberedel di era Soeharto itu sebagai tindakan kepahlawanan atau pembukaan terhadap kebebasan berekspresi?” ujarnya.
Ia menambahkan, pemberian gelar tersebut menciptakan kebingungan dalam memahami perjuangan reformasi 1998.
“Kami dulu ketika beramai-ramai ke gedung DPR-MPR, untuk apa itu semua? Ini membuat semuanya menjadi absurd, semuanya menjadi blur, serbarelatif,” katanya.
Bonnie menyebut keputusan pemerintah itu sebagai preseden buruk yang mengabaikan suara kelompok korban dan pihak yang selama ini terpinggirkan.
Baca: Mengenal Sosok Ganjar Pranowo. Keluarga, Tempat Bersandar
“Pemberian gelar kepada Soeharto ini tentu saja mengabaikan suara-suara minoritas, suara-suara yang selama ini mendambakan keadilan. Semua itu dipinggirkan, dienyahkan, dan diabaikan begitu saja,” ucapnya.
Menurut Bonnie, keputusan tersebut menjadi simbol bahwa negara tidak serius menyelesaikan masalah ketidakadilan masa lalu.
“Ini satu simbol betapa negara tidak ingin menyelesaikan persoalan ketidakadilan di masa lalu, sekaligus pengingkaran secara jelas terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan negara kepada rakyatnya,” katanya.
“Jadi, ini preseden buruklah menurut saya,” pungkas Bonnie

















































































