Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana, menyoroti ketiadaan alokasi dana untuk Perpustakaan Bung Karno dan Bung Hatta.
“Mestinya bisa melayani 1.600 orang untuk Perpustakaan Bung Karno dan 1.000 orang untuk Perpustakaan Bung Hatta, tapi ternyata nggak bisa karena nggak ada anggarannya,” kata Bonnie dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Perpustakaan Nasional (Perpusnas), di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/8).
Legislator Fraksi PDI Perjuangan menilai pengurangan alokasi anggaran, yang juga dialami Perpunas, berdampak serius pada penurunan daya literasi nasional, menghambat sertifikasi pustakawan, pelayanan publik, hingga upaya pelestarian naskah kuno Nusantara.
Baca: Ganjar Amini Pernyataan Puan Soal Nama Sekjen PDI Perjuangan
“Satu kata, prihatin. Kalau cuma dapat Rp377 miliar, dengan sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai dan operasional, paling sisa nggak sampai Rp72 miliar. Sementara beban pekerjaannya cukup serius,” ujar Bonnie.
Menurutnya, keterbatasan anggaran akan berdampak pada tidak tersertifikasinya lebih dari seribu tenaga profesional pustakawan. Padahal, sertifikasi merupakan syarat penting dalam merawat khazanah kekayaan intelektual bangsa, termasuk buku, naskah kuno, dan koleksi langka.
Legislator dari dapil Banten ini mengaitkan kondisi ini dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai wajib belajar gratis 13 tahun. Menurut Bonnie, pendidikan gratis seharusnya berjalan paralel dengan penyediaan bahan bacaan yang memadai.
“Bagaimana ini wajib belajar tetapi kalau kita lihat perpustakaannya seperti ini,” katanya.
Dalam kunjungannya ke daerah pemilihan, Bonnie menemukan perpustakaan dengan kondisi memprihatinkan. Koleksi buku disimpan di ruangan tanpa pengaturan suhu dan jarang dilakukan fumigasi.
“Sudah pasti dalam beberapa tahun itu rusak. Arsip pun banyak yang hilang atau hancur karena kurang terawat,” ujar Bonnie.
Baca: Ganjar Pranowo Ungkap Masyarakat Takut dengan Pajak
Lebih jauh, ia menilai keterbatasan anggaran mengganggu pelayanan publik sekaligus menghentikan produksi pengetahuan. Program alih bahasa naskah kuno Nusantara, penyediaan bahan literasi berbasis koleksi langka, hingga kajian pustaka terancam tidak terlaksana.
“Kalau idealnya sih mungkin Perpustakaan Nasional Rp1 triliun. Tetapi kalau setiap tahun makin turun, dari Rp700 miliar jadi Rp300 miliar, nanti turun lagi, ya ganti saja bukunya jadi digital, pakai HP saja. Perpustakaannya ditutup dulu sementara,” sindir Bonnie.
Bonnie menegaskan bahwa tren penurunan anggaran mencerminkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam meningkatkan literasi. “Politik yang berpihak itu kan tercermin lewat politik penganggaran. Ketika makin turun trennya maka ini enggak serius untuk urusan perpustakaan,” pungkasnya