Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI sekaligus Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof. Rokhmin Dahuri, menegaskan MAI terus mendukung pemerintah dan rakyat dalam mentransformasi akuakultur menjadi sektor unggulan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Akuakultur bukan hanya soal produksi ikan, tetapi tentang menciptakan lapangan kerja, mendorong kemakmuran, dan membangun masa depan yang berkelanjutan,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Gus Dur dan Megawati itu saat pembukaan Konferensi Internasional Akuakultur Indonesia ke-11 (ICAI) 2025 di Surabaya, Rabu (29/10/2025).
Prof. Rokhmin menekankan bahwa visi MAI sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045—menjadi negara yang maju, makmur, adil, dan berdaulat. Ia juga menegaskan di tengah era transisi energi global, akuakultur memiliki peran strategis sebagai sumber energi terbarukan.
“Dengan demikian, akuakultur bukan hanya tentang memberi makan dunia—tetapi juga tentang memberi energi secara berkelanjutan,” ujarnya.
Dalam pidatonya yang mengusung tema “Industri Akuakultur Inovatif: Penentu Perubahan bagi Ketahanan Pangan, Farmasi, dan Energi Indonesia dan Dunia; serta Keberlanjutan”, Ia menjelaskan bahwa mikroalga dan biogas dari limbah akuakultur menawarkan solusi nyata untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
“Studi menunjukkan bahwa 1 hektare budidaya mikroalga dapat menghasilkan minyak 15 kali lebih banyak dibandingkan kelapa sawit—tanpa bersaing dengan lahan subur atau air tawar,” ungkap Prof. Rokhmin.
Rektor Universitas UMMI Bogor ini memaparkan empat bidang strategis agar Indonesia dapat menjadi kekuatan akuakultur global pada tahun 2045, yakni intensifikasi berkelanjutan, ekosistem inovasi dan riset biru, pengembangan SDM unggul, serta investasi biru dan reformasi kebijakan.
Indonesia, tegasnya, memiliki komitmen untuk menjadi pemimpin inovasi akuakultur berkelanjutan di kawasan Global South. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas negara dan sektor untuk mewujudkan ketahanan pangan, energi, dan ekonomi biru.
“Tak ada negara yang dapat mencapai keberlanjutan secara sendirian,” ujar Prof. Rokhmin, yang juga Pendiri dan Ilmuwan Senior Pusat Studi Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB University.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur mencapai 100 juta ton per tahun. Namun, hingga 2024, pemanfaatannya baru sekitar 10% dari total potensi, meski sudah menyumbang lebih dari 50% produksi ikan nasional dan nilai ekspor sebesar USD 6,2 miliar.
“Jika dikembangkan secara inovatif dan berkelanjutan, sektor akuakultur Indonesia dapat menjadi lokomotif ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja, pendapatan ekspor, dan pemerataan wilayah, sekaligus menjamin ketahanan pangan dan kemakmuran biru,” tegasnya.
Dalam konteks tantangan global abad ke-21, Rokhmin menyebut akuakultur sebagai solusi cerdas iklim, karena memiliki jejak karbon jauh lebih rendah dibandingkan pertanian dan peternakan tradisional, serta menghasilkan produk bernilai tinggi untuk berbagai industri.
Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan DPP PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa masa depan akuakultur Indonesia tidak lagi cukup bertumpu pada produksi ikan dan udang semata.
“Visi kami jelas dan berpandangan jauh ke depan: menjadikan akuakultur sebagai penggerak utama pembangunan sosial-ekonomi bangsa yang produktif, efisien, kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan,” tegasnya.
Menurutnya, arah strategis yang harus ditempuh adalah membangun bioindustri biru multiperan yang digerakkan oleh inovasi dan pengetahuan, dengan empat pilar utama: teknologi akuakultur cerdas, inovasi genetika dan pemuliaan, akuakultur multi-trofik terintegrasi (IMTA), dan bioteknologi biru serta bioaktif laut.
“Integrasi keempat pilar ini akan mentransformasi akuakultur dari industri berbasis komoditas menjadi ekosistem inovasi bernilai tinggi yang berkelanjutan dan kompetitif secara global,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Universitas Bremen, Jerman ini.
Prof. Rokhmin menegaskan bahwa akuakultur bukan sekadar sektor produksi pangan, melainkan pilar strategis bagi masa depan umat manusia.
“Akuakultur berkontribusi pada Ketahanan Pangan Biru, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2 dan 14,” ujarnya.
Ia menyoroti potensi besar dari akuakultur berbasis masyarakat, seperti lele bioflok, budidaya rumput laut, dan tambak udang, yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi biru yang inklusif.
“Inilah pertumbuhan yang mengangkat kaum miskin sekaligus melestarikan bumi,” tegasnya.
Lebih jauh, Prof. Rokhmin menekankan bahwa laut menyimpan generasi baru obat-obatan. Sumber daya hayati laut Indonesia mengandung senyawa bioaktif bernilai tinggi seperti kitosan, fukoidan, astaxanthin, dan omega-3, yang digunakan dalam nutraseutikal dan biomedis.
“Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk memimpin inovasi dalam biofarmasi laut, nutraseutikal, dan biomaterial,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa potensi besar ini hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi erat antara universitas, lembaga riset, dan industri—dari laboratorium hingga skala komersial.
“Kita berdiri di ambang revolusi biru. Mari kita jadikan akuakultur bukan sekadar sarana bertahan hidup, tetapi penggerak peradaban—demi dunia yang diberi makan, disembuhkan, dan diberdayakan oleh laut, pesisir, dan air tawar,” pungkasnya.
 
            
            
           
             
           
 
						 
             
                             
                             
                             
                             
                            
 















































































 
                    
                     
                    
                     
                    
                     
                    
                     
                    
                    
 
                 
								