Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana mengungkapkan gedung DPR RI bukan sekadar bangunan tempat para wakil rakyat bekerja.
Gedung Nusantara DPRI dianggap sebagai warisan sejarah dari mimpi besar Presiden Soekarno tentang dunia baru yang bebas dari penindasan dan lebih berkeadilan.
“Gedung DPR ini sebelum dia berfungsi menjadi rumah rakyat, memang tidak pernah didesain sebagai gedung parlemen,” kata Bonnie usai seminar nasional bertajuk ‘Dari Conefo menjadi Rumah Rakyat: Gedung DPR RI sebagai Cagar Budaya Nasional’ di Kompleks Parlemen RI, Rabu (23/7).
Baca: Ganjar Dorong Delapan Parpol di DPR RI Duduk Bersama
Menurutnya, bangunan yang kini menjadi ikon legislatif nasional itu sejatinya dibangun untuk menjadi tuan rumah Conference of New Emerging Forces (Conefo).
Conefo merupakan sebuah konferensi internasional yang diinisiasi Bung Karno pada 1964 sebagai kelanjutan dari semangat Konferensi Asia-Afrika.
“Conefo adalah konferensi kekuatan baru dunia. Bung Karno merumuskannya sebagai tindak lanjut dari perjuangan pembebasan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dari kolonialisme,” jelasnya.
Bonnie mengungkapkan, Indonesia yang sudah lebih dahulu merdeka sejak 1945, merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa lain yang masih berada di bawah cengkeraman kolonialisme Barat.
“Kemerdekaan Indonesia juga merupakan hasil kerja sama internasional dengan negara-negara seperti India dan Sri Lanka maka saat kita sudah merdeka, kita pun berpikir tentang kemerdekaan bangsa lain,” ujarnya.
Sayangnya, rencana penyelenggaraan Conefo pada tahun 1965 gagal terlaksana akibat gejolak politik dalam negeri.
Meski begitu, gedung yang telah dipersiapkan untuk konferensi tersebut tetap berdiri dan akhirnya dialihfungsikan menjadi gedung DPR RI.
“Yang saya ingin katakan, kita harus memahami gedung DPR ini bukan sebagai bangunan mati. Di balik pendiriannya, ada gagasan besar. Ada mimpi tentang tatanan dunia yang setara, lebih adil, dan mendatangkan kesejahteraan bersama,” tegas Bonnie.
Politisi PDI Perjuangan ini menilai, semangat besar itu seharusnya tetap hidup dan menjadi fondasi dalam menjalankan fungsi parlemen sebagai rumah rakyat.
“Kalau dulu Bung Karno memimpikan dunia tanpa penindasan maka rumah rakyat pun harus diteruskan sebagai tempat perjuangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut,” katanya.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Bonnie juga menyoroti kualitas arsitektur gedung DPR yang dibangun pada era 1960-an tersebut.
Dia berujar, meskipun usianya sudah lebih dari 50 tahun, desain gedung ini masih relevan dan bahkan dikagumi oleh banyak arsitek hingga kini.
“Desainnya sangat futuristik, mampu membaca ke masa depan. Bahkan sampai hari ini, masih jadi bahan perbincangan dan kajian di kalangan arsitektur. Ini salah satu ikon bangsa yang patut dibanggakan, terutama bagi negara-negara Asia dan Afrika,” jelasnya.
Terkait berbagai penafsiran atas bentuk gedung yang menyerupai kepak sayap burung Garuda atau kura-kura, Bonnie menyebut hal itu sebagai bagian dari dinamika budaya visual.
“Itu tafsir yang muncul belakangan. Tapi justru bagus. Dalam pendekatan postmodernisme, makin banyak interpretasi dan diskusi yang muncul dari sebuah desain, makin bernilai karya itu. Gedung ini adalah contoh nyatanya,” pungkas Bonnie.