Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR yang juga sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan dengan kesadaran sebagai orang Indonesia yang sudah semakin berkembang, karena usia kemerdekaan yang sudah mencapai 80 tahun, bangsa ini seharusnya tidak hanya mereproduksi narasi lama, tapi juga mengevaluasi sejarah yang telah dilalui.
“Maka sebagai konsekuensi dari harapan tersebut untuk membuat historiografi yang kritis, yang lebih reflektif, lebih otokritik, kita harus berani juga membuka peristiwa-peristiwa kelam yang bisa kita pelajari sama-sama,” tutur Bonnie.
Baca: Ganjar Harap Kepemimpinan Gibran Bisa Teruji
Bonnie membandingkan proyek historiografi resmi di Indonesia dengan sejumlah negara lain, seperti Filipina, Kongo, Cina, hingga Uni Soviet.
Menurutnya, proyek serupa kerap dijalankan oleh negara-negara dengan corak pemerintahan otoriter, sehingga Indonesia perlu lebih berhati-hati dalam menyusun narasi sejarah nasionalnya.
Politikus PDI Perjuangan ini kemudian mengulas perjalanan penulisan sejarah di Indonesia, mulai dari era tradisional dengan pendekatan dewa raja yang istanasentris, era kolonial yang berpihak pada perspektif Belanda, hingga era kemerdekaan yang melahirkan narasi identitas bangsa.
Ia menyebutkan, sejarah nasional Indonesia pertama kali dirumuskan pada seminar sejarah nasional 1957 di Yogyakarta, yang kemudian melahirkan enam jilid buku sejarah pada 1970-an--di mana jilid terakhir sempat menuai kontroversi karena dinilai terlalu mengultuskan Soeharto.
“Jadi kalau misalkan disampaikan sejarah nasional kali ini ditulis dengan menggunakan perspektif penulisan sentris, sebetulnya itu formulasi yang sudah dimulai sejak 1957,” katanya.
Baca: Ganjar Pranowo Ajak Kepala Daerah Praktek Pancasila
Bonnie lagi-lagi mengingatkan agar penulisan ulang sejarah nasional tidak dijadikan alat pengingkaran terhadap fakta-fakta penting dalam perjalanan bangsa. Mantan Pemimpin Redaksi Historia.id ini menegaskan, proses belajar sejarah tidak hanya ditujukan untuk rakyat atau generasi muda, tapi juga harus melibatkan negara itu sendiri.
“Yang juga harus belajar adalah penyelenggaraan negara itu sendiri," katanya. Berbagai kekeliruan yang terjadi bukan karena rakyatnya tapi karena penyelenggara negaranya pada masa lalu.” tambahnya.