Jakarta, Gesuri.id - Anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAM) DPR RI, Totok Hedi Santosa, menilai berbagai dalih yang selama ini digunakan kalangan pengusaha untuk menekan kenaikan upah buruh tidak sejalan dengan fakta di lapangan.
Ia menegaskan hubungan antara kenaikan upah dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) kerap disalahartikan, sehingga memunculkan kebijakan yang tidak berpihak kepada pekerja. Pernyataan ini ia sampaikan usai menghadiri pertemuan bersama penyampai aspirasi di Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Dalam penjelasannya, Totok menegaskan bahwa klaim upah tinggi menyebabkan PHK tidak didukung data empiris.
“Jadi ada satu statement dan data yang penting bagi saya bahwa upah tinggi tidak berkorelasi langsung dengan PHK atau pindah PHK. Karena (pihak penyampai aspirasi) memberikan contoh konkret, Jawa Tengah itu upahnya rendah, tetapi PHK-nya justru (tetap) tinggi,” kata Totok.
Ia menambahkan bahwa alasan yang digunakan untuk menahan kenaikan upah sering kali tidak berdasar. Menurutnya, pengusaha kerap menjadikan argumen tersebut untuk menutup peluang buruh memperoleh tingkat kesejahteraan yang layak.
“Dalih bahwa upah rendah akan memperluas ruang akumulasi kapital tidak dapat dijadikan justifikasi. Yang saya lihat, negara masih belum jelas berpihak pada siapa. Apakah pada rakyat dalam pengertian buruh, atau pada industri yang dikejar demi pertumbuhan ekonomi, meski dengan mengorbankan kesejahteraan,” ucap Politisi Fraksi PDI Perjuangan ini.
Selain soal keberpihakan, Totok turut menyoroti persoalan tumpang tindih regulasi ketenagakerjaan yang selama ini menghambat penegakan keadilan bagi pekerja. Ia menilai beragam aturan mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), hingga peraturan menteri, kerap tidak selaras dan bahkan mengebiri inisiatif pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan lebih baik.
“Kami akan mengkaji lebih lanjut dan menjadikan ini agenda penting BAM, meski distribusinya nanti harus ke Baleg atau komisi-komisi terkait,” jelas Anggota Komisi VI DPR RI itu.
Totok juga mempertanyakan arah kebijakan otonomi daerah terkait ketenagakerjaan, terutama di tengah kecenderungan semakin kuatnya sentralisasi kewenangan pemerintah pusat.
“Kita ini masih mau menjalankan otonomi, atau semua ditarik ke pusat? Ini peta persoalan yang perlu kami lihat sebelum menentukan solusi,” ungkapnya.
Hasil dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tersebut akan dirumuskan menjadi rekomendasi kebijakan oleh BAM DPR RI kepada alat kelengkapan dewan terkait. Totok berharap rekomendasi itu mampu memperkuat tata kelola ketenagakerjaan nasional, sekaligus memberi arah kebijakan yang lebih adil bagi jutaan pekerja Indonesia.

















































































