Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Prof. Dr. Darmadi Durianto, menilai klaim pemerintah yang menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) sebagai investasi sosial tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Menurutnya, hingga kini manfaat sosial yang dijanjikan belum benar-benar dirasakan masyarakat luas, terutama di sektor kesempatan kerja, ekonomi lokal, dan pemerataan pembangunan di luar jalur proyek.
“Kalau disebut investasi sosial, seharusnya rakyat yang merasakan manfaatnya — bukan hanya investor yang menghitung bunganya. Cepat jalannya, tapi lambat dampaknya,” sindir Darmadi dalam pernyataannya, Sabtu (1/11).
Baca: Ganjar Tegaskan Pemuda Harus Benar-benar Siap
Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan, konsep investasi sosial tidak bisa diukur hanya dari kecepatan transportasi, tetapi dari seberapa jauh proyek tersebut meningkatkan kesejahteraan rakyat dan produktivitas ekonomi nasional.
“Pembangunan besar tanpa keadilan sosial adalah pembangunan tanpa jiwa,” tegasnya, mengutip pesan ideologis Bung Karno.
Data Menunjukkan Ketimpangan Manfaat
Berdasarkan data PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), hingga Juli 2025 Whoosh baru mengangkut sekitar 10,7 juta penumpang sejak beroperasi, dengan rata-rata hanya 20 ribu penumpang per hari — jauh di bawah kapasitas ideal 50–76 ribu penumpang per hari.
Sementara itu, biaya proyek membengkak hingga Rp 120 triliun, dengan pendapatan operasional masih jauh dari target awal.
Tarif tiket Whoosh untuk rute Jakarta–Bandung berkisar antara Rp 250.000 hingga Rp 600.000 per orang tergantung kelas, menunjukkan bahwa pengguna utama berasal dari kalangan menengah ke atas.
“Dengan harga tiket Jakarta–Bandung minimal Rp 250 ribu, sulit disebut transportasi massal rakyat. Yang menikmati adalah kelas menengah ke atas. Kalau ini disebut investasi sosial, rakyat kecil dapat apa?” kritik Darmadi.
Darmadi menilai bahwa pembengkakan biaya dan potensi defisit operasional Whoosh bisa menjadi beban baru bagi keuangan negara.
“Kalau utangnya rakyat yang bayar, tapi keuntungannya hanya dinikmati segelintir, itu bukan investasi sosial — itu beban sosial. Rakyat jangan dijadikan penumpang setia utang,” tegasnya.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Demokrasi Harus Dirawat Dengan Baik!
Ia mendesak pemerintah untuk membuka data manfaat sosial secara transparan, termasuk lapangan kerja yang tercipta, dampak terhadap UMKM lokal, dan multiplier effect di sekitar stasiun.
“Tanpa data yang transparan, klaim investasi sosial hanya jadi slogan politik, bukan bukti pembangunan yang berkeadilan,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Darmadi menegaskan bahwa semangat pembangunan nasional harus berpijak pada nilai-nilai Trisakti Bung Karno — berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
“Bung Karno mengajarkan, berdikari bukan berarti menumpuk utang untuk proyek yang belum menghidupi rakyat. Kemajuan sejati adalah ketika rakyat ikut sejahtera — bukan hanya kagum melihat kecepatan kereta,” pungkasnya.

















































































