Ikuti Kami

Darmadi: Penerapan Tarif 19 Persen Picu Banjirnya Produk China dan India

Darmadi menilai penerapan tarif ini memiliki dua sisi dan bisa memicu ketegangan baru dalam sektor perdagangan.

Darmadi: Penerapan Tarif 19 Persen Picu Banjirnya Produk China dan India
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto, mengingatkan pemerintah agar tidak hanya fokus pada sisi perdagangan dengan Amerika Serikat terkait penerapan tarif 19 persen, tetapi juga waspada terhadap potensi banjir produk impor dari negara lain, khususnya China dan India.

Dalam keterangannya, Darmadi menilai penerapan tarif ini memiliki dua sisi dan bisa memicu ketegangan baru dalam sektor perdagangan.

“Jadi, kalau kita mau lihat, kita lihat mungkin dua sisi dulu ya. Kalau dari sisi impor kan enggak banyak isu kan, no isu sebetulnya kan. Karena kalau kita lihat produk-produk seperti kedele, kemudian pesawat, gas cair itu market share Amerika memang besar. Jadi artinya memang kita di sini enggak ada isu sama sekali. Nah paling ada sedikit isu di produk-produk seperti gandum, kapas, minyak,” kata Darmadi, dikutip pada Selasa (5/8/2025).

Namun, menurutnya, potensi ketegangan bisa muncul karena pergeseran asal impor dari Amerika ke negara lain. Negara-negara seperti Australia, Rusia, dan Brazil berpotensi terganggu karena pergeseran itu.

“Nah ini ada ketegangan sedikit dengan, karena ada pergeseran kita impor dari negara lain. Yang dulunya kita impor dari Amerika, nanti karena dulunya kita impor dari negara lain. Tentu negara lain juga enggak terima kan, seperti Australia, Rusia, Brazil gitu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Darmadi menggarisbawahi kekhawatiran besar justru datang dari sisi ekspor, terutama terhadap pasar Amerika.

“Nah kalau kita lihat dari sisi ekspor, nah ini agak sedikit masalah menurut saya. Kenapa? Karena memang ekspor ini kalau kita lihat dari lima besar ekspor Indonesia ke Amerika, kemudian kita mapping, itu akan ketemu bahwa produk-produk tersebut adalah sudah banyak yang tahu tekstil, garment, alas kaki, furniture, dan elektronik,” ujar Darmadi.

Ia juga menyinggung persaingan ketat Indonesia dengan Vietnam yang saat ini memiliki tarif hampir sama di pasar AS.

“Vietnam kan tahun 2024 itu 136 miliar USD, sedangkan kita hanya 28 miliar USD. Berarti 4 kali lipat, dengan selisih 5%. Nah sekarang antara Indonesia dengan Vietnam, selisihnya hanya tinggal 1%. Vietnam 20, Indonesia 19. Nah bagaimana dengan selisih yang semakin mengecil ini, ini harus diperhatikan oleh pemerintah,” ungkapnya.

Namun, Darmadi lebih mewaspadai potensi masuknya produk dari China yang mengalami penurunan ekspor ke Amerika hingga 38 persen.

“Yang kita takut justru dari China. Karena ekspor China ke Amerika sudah turun hampir 38% sekarang. Nah kalau dia banjir pasar Indonesia, ini kan impor Indonesia dari China juga sudah naik. Akibatnya apa? Banyak kemungkinan bahwa produk-produk China itu akan banjir Indonesia dengan dumping, dengan predatory pricing. Kalau itu dilakukan, itu kan merusak industri Indonesia,” tegas Darmadi.

Ia menyebut kondisi saat ini cukup mengkhawatirkan karena Indonesia mencatat PMI (Purchasing Managers’ Index) paling rendah di ASEAN.

“PMI kita itu sekarang 46,7, paling rendah di ASEAN sekarang. Mengalami kontraksi sekarang. Jadi ini kalau dibiarkan terus akan terjadi yang namanya deindustrialisasi,” ungkapnya.

Darmadi juga menyebut ancaman datang dari India yang kini mulai menggantikan posisi China dalam ekspor produk murah ke Indonesia.

“Contoh, China sudah nggak bisa masuk keramik ke Indonesia. Kenapa? Karena ada anti-dumping, ada safeguard. Barusan dikenain anti-dumping 34% kira-kira. Tapi sekarang, India yang masuk, gamping di sini dan murah barangnya. Nah itu akan memukul industri di dalam negeri,” paparnya.

Ia menekankan bahwa pemerintah harus memperhatikan efek domino dari kebijakan tarif tersebut dan melakukan langkah proteksi yang tepat terhadap industri nasional.

Quote