Jakarta, Gesuri.id - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, mendesak Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk mengevaluasi secara total dan menyeluruh seluruh izin konsesi pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, tanpa tebang pilih.
“Kami mendapat banyak pertanyaan dari masyarakat, mengapa Menteri ESDM hanya menindak PT Gag Nikel, sedangkan perusahaan lain tidak, padahal Kementerian Lingkungan Hidup telah menyebutkan bahwa keempat perusahaan nikel di sana melakukan pelanggaran. Raja Ampat ini adalah masa depan pariwisata, konservasi geologi, budaya, dan kelestarian laut kita. Jadi, saya minta jangan korbankan Indonesia dan Raja Ampat hanya demi segelintir perusahaan nikel ini,”katanya melalui keterangan tertulis, Sabtu (8/6/2025)
Evita menegaskan pentingnya ketegasan pemerintah dalam menangani aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Ia menyebutkan bahwa Pulau Kawe, Pulau Manuran, dan Pulau Batangpele berada di kawasan Geopark Raja Ampat dan menjadi bagian dari Rencana Induk Destinasi Pariwisata Nasional (RIDPN) Raja Ampat Tahun 2024–2044.
Baca: Ganjar Beberkan Penyebab Kongres PDI Perjuangan Belum Digelar
“Pulau-pulau ini, termasuk Pulau Gag, merupakan pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aktivitas pertambangan nikel di pulau-pulau ini jelas melanggar undang-undang,” lanjutnya.
Raja Ampat telah diakui secara resmi sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2023. Dengan luas sekitar 36.660 km², kawasan ini menjadi rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 1.600 jenis ikan. Wilayah ini mencakup pulau-pulau utama seperti Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.
Pengelolaan geopark yang berkelanjutan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengatasi berbagai ancaman ekologis, termasuk eksploitasi tambang.
Evita menyampaikan bahwa Komisi VII DPR RI telah bertemu dengan Gubernur Papua Barat Daya, para bupati, termasuk Bupati Raja Ampat, serta masyarakat. Pertemuan ini bertujuan menyerap aspirasi mengenai pengembangan pariwisata berkelanjutan, terlebih setelah Raja Ampat ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) melalui Perpres No. 87 Tahun 2024.
“Kami melihat bahwa pertambangan di sana akan selalu berlawanan dengan rencana pembangunan pariwisata berkelanjutan. Ini harus dibongkar. Kita semua jangan melakukan pembohongan publik. Sebab, jika ini dibiarkan, maka akan merugikan Raja Ampat, Papua Barat Daya, Papua, dan Indonesia. Masa demi 3-4 perusahaan tambang nikel, kepentingan yang jauh lebih besar kita korbankan?” tegasnya.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Demokrasi Harus Dirawat Dengan Baik!
Salah satu isu yang juga disoroti adalah ketidaklibatan pemerintah daerah dalam proses perizinan tambang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran soal tata kelola, hukum, dan potensi konflik sosial di masa depan.
“Mereka (daerah) mengeluh karena hanya jadi penonton. Bahkan, perusahaan-perusahaan tambang ini tidak pernah berkomunikasi dengan daerah. Itu diungkapkan para kepala daerah,” lanjut Evita.
Evita juga menekankan perlunya revisi terhadap regulasi teknis yang ada, untuk memastikan keterlibatan daerah dalam proses evaluasi izin. Ia mendorong agar mekanisme konsultasi publik diperkuat demi menjamin transparansi dan keadilan bagi masyarakat lokal.
“Revisi regulasi teknis agar daerah diikutsertakan dalam proses evaluasi izin, dan meningkatkan mekanisme konsultasi publik sebelum izin diberikan,” pungkasnya.