Ikuti Kami

Ganjar Tolak Keputusan Pemerintah Masukan Mata Pelajaran AI Pada Kurikulum Sekolah

Ganjar menilai pendidikan di Tanah Air saat ini sedang kebingungan mencari arah. 

Ganjar Tolak Keputusan Pemerintah Masukan Mata Pelajaran AI Pada Kurikulum Sekolah
Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Jakarta, Gesuri.id - Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyoroti keputusan pemerintah untuk memasukkan mata pelajaran akal imitasi (AI) pada kurikulum sekolah di tahun ajaran baru.

Rencana itu sebelumnya diungkap Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang menyatakan jika mata pelajaran AI akan ada di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK, dan kemudian pemerintah mengumumkan AI masuk kurikulum pada tahun ajaran 2025/2026. 

"Dengan mayoritas siswa belum mencapai kompetensi minimum dalam membaca dan berhitung, kita mau mengajarkan kepada mereka kecerdasan buatan. Kenapa tidak berfokus pada kecerdasan manusianya terlebih dulu?" ujar Ganjar. 

Mantan calon presiden itu mengungkap, di tengah masih banyaknya persoalan di Indonesia, ia berharap pendidikan jadi urusan prioritas. Menurutnya, pendidikan di Tanah Air saat ini sedang kebingungan mencari arah. 

Baca: Mengulik Gaya Kepemimpinan Transformasional Ganjar Pranowo

"Dunia berlari cepat menuju transformasi digital, dengan kecerdasan buatan sebagai penggeraknya, sementara pendidikan kita masih tertatih-tatih di urusan dasar literasi, numerasi, ketidakmerataan fasilitas pendidikan dan kualitas guru," kata dia.

Ia mengutip hasil studi lembaga penelitian Research on Improving Systems of Education (RISE), data dari PISA 2022, dan Asesmen Nasional 2023 yang memberi peringatan keras bahwa Indonesia sedang mengalami krisis pembelajaran.

Skor PISA Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD—359 untuk kemampuan membaca (vs. 476 OECD), 366 untuk matematika (vs. 472 OECD), dan 383 untuk sains (vs. 485 OECD). 

Angka-angka itu, menurutnya, menunjukkan bahwa mayoritas siswa kita tidak mampu memahami bacaan dan lemah dalam matematika. "Artinya, sistem pendidikan kita masih gagal memberikan dasar-dasar berpikir logis dan literasi yang seharusnya menjadi bekal mereka seumur hidup," imbuh dia.

"Tanpa kecakapan literasi, siswa tidak akan mampu menangkap gagasan, menyusun argumen, atau merumuskan pemikiran. Dengan kata lain, gagal menyerap pengetahuan. Tanpa kecakapan numerasi, mereka akan kesulitan memahami proporsi, menghitung risiko, atau membaca data," ujar Ganjar.

Berdasarkan kondisi itu, ia pun menyoroti relevansi keputusan memasukkan AI ke dalam kurikulum, apakah bisa menjadi jawaban masalah-masalah pendidikan itu. "AI tidak akan mengatasi krisis literasi, AI tidak memperbaiki lemahnya numerasi, AI tidak mencetak guru yang paham didaktik, dan AI juga tidak menyelesaikan masalah ketimpangan infrastruktur pendidikan," kata dia.

Ganjar menambahkan, yang lebih mengkhawatirkan, AI bisa menjadi ilusi bahwa pendidikan Indonesia seolah telah maju, padahal masalah paling mendasarnya belum dibereskan. "Dengan AI masuk kurikulum, negara seakan berkata kepada para siswa, 'Kami memang belum berhasil mengajarkan membaca dan matematika kepada kalian, belum berhasil mewujudkan pemerataan pendidikan, tapi sekarang pelajarilah cara berpikir mesin,'" kata dia.

Ganjar juga menyangsikan mengajarkan AI kepada para siswa yang masih lemah dalam literasi dan numerasi. "Jika siswa kesulitan memahami kalimat, belum mampu membangun argumen, belum mampu berpikir logis, belum mengenal pemikiran kritis, kemungkinan terbesarnya adalah mencetak mereka menjadi operator sistem, bukan pemikir," kata dia.

"Itu pun belum tentu berhasil, sebab untuk mengoperasikan AI yang paling sederhana pun, seperti ChatGPT misalnya, tetap diperlukan kemampuan berbahasa, berlogika, dan berpikir kritis," tambahnya.

Belum lagi soal guru. Ganjar menyebutkan fakta tentang rendahnya kompetensi mayoritas siswa dalam literasi dan numerasi, diakui atau tidak, mencerminkan kegagalan negara dalam menyediakan guru-guru berkualitas secara merata. "Tidak mungkin kita berharap mutu pendidikan meningkat jika kualitas guru tidak ditingkatkan terlebih dahulu," kata dia.

Ganjar mengatakan, kebijakan memasukkan AI dalam kurikulum mungkin seolah terlihat benar dan normal karena negara-negara lain juga melakukannya. "Tapi apakah sebuah kebijakan menjadi benar hanya karena negara-negara lain melakukannya? Tiap negara punya arah, kesiapan, dan tujuan masing-masing. Mereka melakukannya karena tahu betul apa yang ingin mereka capai dan bagaimana cara mencapainya," kata dia.

Ia mencontohkan, Finlandia memasukkan AI untuk memperkuat filosofi pembelajaran berbasis humaniora, dialog, dan kesadaran sosial. Inggris mengajarkan etika AI bersamaan dengan kemampuan berpikir komputasional. Sementara Singapura melatih guru secara menyeluruh lebih dulu.

"Di negara-negara yang pendidikannya maju, yang utama bukan aspek teknologinya, melainkan cara manusia memahami dirinya di dalam dunia yang dibanjiri teknologi," kata dia.

Ganjar turut mempertanyakan apa tujuan utama masuknya AI ke dalam kurikulum. Menurutnya, ada tujuan abstrak yang sulit diukur keberhasilannya, yaitu meningkatkan daya saing global, mempersiapkan generasi muda menghadapi era digital, mendorong transformasi pendidikan yang lebih adaptif, mengembangkan kemampuan berpikir logis dan analitis, dan meningkatkan literasi digital dan keterampilan teknologi.

Sedangkan tujuan yang lebih pragmatis, kata Ganjar, yang bisa didengar dari pidato pejabat, yaitu menyiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan revolusi industri 4.0, mendorong ekonomi digital senilai US$ 146 miliar, atau menghasilkan SDM kompetitif di pasar global. 

Baca: Ganjar Ingatkan Presiden Prabowo Untuk Berhati-hati

"Itu semua terdengar besar, strategis, dan penuh ambisi. Namun semua tujuan di atas bukanlah tujuan utama pendidikan. Itu manfaat turunan yang bisa kita peroleh asalkan pendidikan dijalankan. 

Menurutnya, jika pendidikan hanya ditujukan untuk mengejar manfaat ekonomi, maka manusia hanya akan menjadi alat, bukan menjadi manusia yang mandiri dan mampu memahami dunia dan dirinya sendiri secara lebih baik, lebih jernih, dan lebih bertanggung jawab.

Ganjar menyebut mengajarkan AI tentu saja sangat penting, tetapi mengajarkan AI dan mengabaikan masalah utama pendidikan adalah serupa dengan membangun menara di atas fondasi keropos. "AI bekerja dengan bahasa, baik bahasa natural yang kita gunakan untuk berkomunikasi maupun bahasa matematika yang digunakan untuk menjelaskan struktur, pola, dan logika," kata dia.

"Tanpa kemampuan dasar itu, siswa hanya akan menjadi pengguna pasif, malas berpikir sendiri, dan bergantung sepenuhnya kepada alat," urainya.

Bahaya lainnya, lanjut dia, dalam sistem pendidikan yang ingin berlari kencang dan meninggalkan mereka yang belum siap. "AI pada akhirnya hanya akan menjadi alat yang dikuasai oleh sedikit orang untuk mengendalikan mayoritas yang tertinggal. Maka, pendidikan kita tidak akan pernah menjadi jalan untuk meningkatkan kualitas hidup bersama. Ia hanya akan menjadi alat pemelihara ketimpangan," kata dia.

Quote