Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI Giri Ramanda Nazaputra Kiemas menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan Hak Guna Usaha (HGU) di Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga 190 tahun harus segera ditindaklanjuti dengan aturan baru yang lebih seimbang antara kepastian investasi dan kedaulatan negara atas tanah.
“Negara bisa mengontrol penguasaan tanah dengan mekanisme perpanjangan dan pembaruan,” kata Giri, Minggu (23/11).
Politikus PDI Perjuangan dari Sumatera Selatan II ini menjelaskan lamanya HGU di IKN sebelumnya memang dirancang sebagai insentif investasi jangka panjang, namun putusan MK menilai skema double cycle Hak Atas Tanah (HAT) berpotensi melemahkan penguasaan negara.
Karena itu, prinsip pengelolaan tanah dikembalikan pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
Untuk menjaga ruang investasi sekaligus memastikan negara tetap mengendalikan penguasaan lahan, Giri mengusulkan adanya mekanisme pembaruan otomatis selama tidak terdapat masalah pertanahan atau kebutuhan negara yang lebih mendesak.
“Bisa saja diatur mekanisme untuk diperbarui otomatis dua kali. Artinya satu kali pemberian hak 30 tahun, perpanjangan 20 tahun. Kalau dua kali pembaruan bisa 150 tahun, tetapi tetap ada mekanisme pengajuan hak untuk pengawasan,” tegasnya.
Menurut Giri, pola tersebut akan memberikan keseimbangan antara negara, investor, dan masyarakat. Dengan demikian, negara tetap memegang kendali atas tanah, namun investor mendapatkan kepastian jangka panjang dan masyarakat tetap memiliki perlindungan apabila terjadi sengketa.
“Jika tidak ada masalah bisa diperpanjang atau diperbarui. Jadi negara tetap berdaulat, investor mendapat insentif, dan rakyat tetap terlindungi,” ungkapnya.
Sebelumnya, MK melalui putusan perkara 185/PUU-XXII/2024 memutuskan pengurangan jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai di IKN. Dalam putusan tersebut, HGU ditetapkan maksimal 35 tahun, dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui 35 tahun atau total 95 tahun. Sementara HGB hanya dapat mencapai total 80 tahun, sama halnya dengan Hak Pakai.
MK menilai pemberian hak hingga 190 tahun melemahkan posisi negara dalam penguasaan tanah dan tidak sejalan dengan hukum nasional. MK menegaskan bahwa daya tarik investasi seharusnya bukan pada lamanya pemberian hak, melainkan pada kepastian hukum, birokrasi yang sederhana, dan biaya ekonomi yang rendah.

















































































