Jakarta, Gesuri.id - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menanggapi konflik agraria yang terjadi antara Komunitas Adat Laman Kinipan dengan perusahaan sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Konflik itu bahkan sempat berdampak pada penangkapan yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian terhadap enam orang warga Komunitas Adat Laman Kinipan, termasuk Ketua Komunitas tersebut, Effendi Buhing.
Namun pada Kamis (27/8), Effendi dan kelima warga Komunitas Adat sudah dibebaskan Polisi dari tahanan.
Baca: Kader GMNI Surabaya Laporkan Pengeroyokan ke Kepolisian
Sekjen DPP GMNI Sujahri Somar menilai konflik agraria yang sempat berdampak pada penangkapan enam warga Komunitas Laman Kinipan itu sejatinya menunjukkan ketidakberpihakan aparat negara pada masyarakat adat.
"Ketidakberpihakan itu, sejatinya serupa dengan melanggengkan penindasan. Sebab, negara abai dalam perlindungan terhadap masyarakat adat yang tanahnya dirampas korporasi," ujar Sujahri.
Sujahri memaparkan, konflik agraria ini berawal dari perampasan lahan milik masyarakat adat Laman Kinipan oleh PT SML, sebagai buah dari perluasan kebun sawit perusahaan tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun GMNI, izin didapat PT SML dari Bupati Lamandau periode lalu, Marukan Hendrik. Selain itu, PT. SML juga memperoleh Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar.
Walhasil, sejak tahun 2015 PT. SML mulai melakukan aktivitasnya sambil mengurus perpanjangan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan permohonan Hak Guna Usaha (HGU).
GMNI menilai, Komunitas Adat Laman Kinipan yang merupakan bagian dari Suku Dayak Tomun ini berhak mempertahankan tanah adat mereka dari okupasi pihak PT SML.
Sebab, berdasarkan temuan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) jelas ada tumpang susun (overlay) peta wilayah adat Kinipan dengan peta perizinan milik PT SML. Faktanya, terjadi tumpang tindih HGU inti milik SML seluas 2.235 hektar plus 390.1 hektar dan plasma 343,8 hektar plus 720.2 hektar yang masuk dalam wilayah adat Laman Kinipan.
Dan, menurut GMNI, tumpang tindih bisa terjadi karena Pemerintah lebih mengakomodir kepentingan korporasi dibandingkan Komunitas Adat. Hal itu membuat lahan adat bisa dirampas dengan mudah oleh perusahaan.
"Perusahaan dengan mudahnya memperoleh izin dari pemerintah untuk menjalankan usaha. Tapi usulan komunitas adat Kinipan untuk menjaga hutan melalui skema adat, tidak mendapat pengakuan dari pemerintah. Hal ini menunjukkan keberpihakan negara yang kentara terhadap perusahaan, namun negara abai melindungi masyarakat adat," ujar Sujahri.
Sejatinya, lanjut Sujahri, pada tahun lalu Pemerintah Pusat melalui Kantor Staf Presiden (KSP) telah berupaya memberi solusi atas konflik agraria yang terjadi antara PT SML dengan Komunitas Adat Laman Kinipan. Solusi itu berupa empat poin rekomendasi, yakni Pertama, meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (KATR/BPN) tidak menerbitkan sertifikat atau hak di atas tanah yang berkonflik antara Desa Kinipan dan SML.
Rekomendasi kedua, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamandau agar tidak memasukkan wilayah Desa Kinipan dalam wilayah kerjasama inti -plasma (perkebunan masyarakat) melalui penetapan penerima tanah yang masuk dalam skema kerjasama inti plasma (perkebunan masyarakat) SML. Ini sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Ketiga, berdasarkan poin kedua, agar Pemkab Lamandau memfasilitasi masyarakat Adat Kinipan dalam pembuatan pernyataan tentang tanggung jawab masyarakat mengelola lahan mereka mandiri, dan tidak termasuk dalam skema kerjasama inti -plasma (perkebunan masyarakat) SML.
Baca: Gusur Masyarakat Besipae, GMNI Nilai Pemprov Anti Rakyat
Lalu keempat, agar Pemkab Lamandau bersama SML menetapkan penerima tanah dalam skema kerja sama inti-plasma serta luas lahan masing-masing sesuai dengan kesediaan dari masyarakat yang bersangkutan.
Namun, sayangnya, hingga kini tak ada respon positif terutama dari Pemkab terhadap rekomendasi KSP tersebut. Bahkan, Bupati Lamandau saat ini, Hendra Lesmana menyatakan tidak ada tanah adat di wilayah yang dia pimpin.
"Pemkab tampak lebih berpihak pada perusahaan, yang membuat hak warga Komunitas Adat Laman Kinipan menjadi 'mangsa' pemilik modal," tegas Sujahri.
Oleh sebab itu, GMNI mendesak Pemerintahan Daerah Lamandau, baik Pemkab maupun DPRD untuk melaksanakan rekomendasi KSP. Khususnya dalam poin yang menyangkut pengakuan terhadap hak komunitas adat dalam pengelolaan hutan.
"GMNI secara tegas meminta DPRD Lamandau untuk menerbitkan Perda Pengakuan Masyarakat Adat, dan SK penetapan hutan adat Kinipan. Hal ini merupakan langkah awal pengakuan terhadap hak Komunitas Adat atas tanah mereka," tegas Sujahri.
GMNI juga mendesak Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk segera mengidentifikasi batas-batas wilayah adat Kinipan sesuai sejarah asal-usul komunitas tersebut. Karena itu, GMNI meminta identifikasi itu dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan Komunitas Adat Laman Kinipan.
Yang tak kalah penting, GMNI juga mengingatkan Polda Kalimantan Tengah untuk tidak lagi melakukan tindakan represif seperti penangkapan terhadap warga Komunitas Adat Laman Kinipan.
"Aparat kepolisian harus menghilangkan kebiasaan menjadi 'centeng' perusahaan, sebagaimana yang terjadi dalam berbagai konflik agraria di Tanah Air," tegas Sujahri.