Ikuti Kami

Mahfud MD Singgung Nasib RUU Perampasan Aset, Peneliti: Masyarakat Tak Boleh Acuh

Mahfud memastikan sejak RUU tersebut diajukan pada Mei 2023 hingga saat ini, DPR belum memberikan tanggapan

Mahfud MD Singgung Nasib RUU Perampasan Aset, Peneliti: Masyarakat Tak Boleh Acuh
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Tribunnews.com/Gita Irawan

Jakarta, Gesuri.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mempertanyakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia yang hingga saat ini belum menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Mahfud memastikan sejak RUU tersebut diajukan pada Mei 2023 hingga saat ini, DPR belum memberikan tanggapan atau memulai pembahasannya.

"RUU Perampasan Aset sudah masuk ke DPR, terserah DPR dan di sana tampaknya perkembangan politik belum bisa mengajak mereka berkonsentrasi menyelesaikan RUU Perampasan Aset itu."

"Kita nggak apa-apa juga. Itu wewenang DPR. Silakanlah, yang penting pemerintah sudah menunjukkan iktikad baik melakukan itu," ujar Mahfud yang sudah resmi menjadi Cawapres Ganjar Pranowo, di Le Meridien Jakarta pada Senin (13/11/2023).

Mendiskusikan RUU tersebut menjadi hal yang penting, terutama karena Indonesia sekarang menjadi salah satu dari 40 negara anggota tetap Financial Action Task Force (FATF) atau Satgas Anti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Dunia.

Walaupun tindakan perampasan aset telah gencar dilakukan sebelumnya, Mahfud menekankan bahwa penting untuk membahas dan menyetujui RUU tersebut dengan cepat.

Di sisi lain, Mahfud mencatat bahwa meskipun belum ada UU perampasan aset hingga saat ini, pihak penegak hukum terus berusaha menyita harta milik pelaku korupsi di Indonesia.

Sebagai contoh, Mahfud menggambarkan situasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana jumlah uang yang terlibat dalam kasus korupsi dapat meningkat menjadi Rp100 miliar setelah asetnya disita.

Mahfud MD juga memberikan contoh bahwa Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah berhasil merampas aset koruptor dengan nilai lebih dari Rp34 triliun hanya dalam waktu 1,5 tahun.

Meskipun pengesahan Undang-Undang terkait hal ini di DPR agak lambat, Mahfud berpendapat bahwa DPR dapat menangani prioritasnya sendiri.

Dia menegaskan komitmennya untuk tetap intensif dalam perampasan aset, bahkan menyuarakan kemungkinan pembuatan UU Pembuktian Terbalik di masa mendatang.

Masyarakat Acuh, DPR Diuntungkan

DPR dianggap akan mendapat keuntungan jika masyarakat bersikap apatis terhadap keterlambatan DPR dalam memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.

Lucius Karus, seorang peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), menyatakan bahwa saat ini masyarakat yang memiliki kepentingan seharusnya mendorong agar RUU Perampasan Aset segera dibahas.

Menurut Lucius, tekanan dari masyarakat perlu diwujudkan karena jika RUU tersebut segera disahkan, akan memiliki dampak besar dalam membantu penegak hukum merampas aset para pelaku kejahatan.

"Dengan demikian desakan publik sesungguhnya yang menentukan RUU ini bisa segera dibahas oleh DPR."

"Kalau publik, diam itu akan menguntungkan DPR yang memang tak punya motivasi untuk segera membahasnya," kata Lucius saat dihubungi pada Jumat (14/7/2023).

Namun, apabila tekanan dari masyarakat dianggap kurang cukup, Lucius memprediksi bahwa DPR akan mengabaikan pembahasan RUU Perampasan Aset pada tahun politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres).

Lucius menyatakan bahwa para politisi dan partai politik mungkin akan terbagi fokus, lebih cenderung berusaha mendapatkan dukungan dari masyarakat daripada membahas RUU Perampasan Aset.

Ia juga berpendapat jika DPR baru membahas RUU tersebut setelah Pemilu 2024, kemungkinan besar mereka tidak akan melakukannya tanpa adanya tekanan politis dari pemilih.

Presiden Jokowi telah mengajukan Surat Presiden (Surpres) dan naskah RUU tersebut pada tanggal 4 Mei 2023.

Quote