Ikuti Kami

Rieke Sambangi Kantor Bappenda Kabupaten Bekasi Tindaklanjuti Kasus PBB Ponpes

Rieke menyatakan kunjungannya ke kantor Bappenda adalah bagian dari perjuangan #savepesantrenIndonesia.

Rieke Sambangi Kantor Bappenda Kabupaten Bekasi Tindaklanjuti Kasus PBB Ponpes
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka (tengah).

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menyambangi kantor Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kabupaten Bekasi untuk menindaklanjuti kasus penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fath Jalen. Rieke, yang populer dengan sebutan Nyi Iroh atau Ce Oneng, mendorong adanya keberpihakan negara dan kebijakan yang lebih adil bagi pesantren.

Dalam video yang diunggahnya di Instagram, Rieke menyatakan kunjungannya ke kantor Bappenda adalah bagian dari perjuangan #savepesantrenIndonesia. Ia datang tepat di Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober 2025.

"Hari ini alhamdulillah kita diskusi untuk mencari solusi bagaimana adanya keberpihakan dari negara untuk pesantren di Indonesia. Ini cara kami memperjuangkan pesantren agar ada kebijakan yang lebih adil termasuk persoalan Pajak Bumi dan Bangunannya," kata Rieke, dikutip detikcom, Jumat (24/10/2025) dengan seizin yang bersangkutan.

Rieke menyoroti UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang mengatur PBB-P2 menjadi wewenang daerah. Namun, ia menekankan Pasal 38 Ayat 3 UU tersebut dan turunannya, PP Nomor 35 Tahun 2023.

Pasal tersebut mengatur pengecualian PBB sebagai objek pajak untuk yayasan yang bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan. Rieke meminta Bappenda mengklarifikasi dan menerapkan ketentuan ini.

"Saya ingin tanyakan terkait dengan ketentuan di Pasal 38 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 terkait dengan tidak menjadi objek pajak tersebut adalah yayasan sosial, keagamaan, dan pendidikan," tegas Rieke.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bappenda Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan, menyatakan komitmennya untuk mencari solusi yang berkeadilan. Pihaknya akan mengkaji dan merumuskan aturan agar memiliki kekuatan hukum yang berkeadilan.

"Kami akan coba lakukan untuk hal tersebut supaya berkeadilan. Supaya berkeadilan dalam arti apa? Untuk hal seperti ini kami pun tidak bisa nanti seolah membeda-bedakan. Karena harus ada asas keadilan itu semua dapat tapi juga porsi yang berbeda," jelas Iwan.

Dalam diskusi yang cukup hangat, Rieke mengingatkan Bappenda bahwa pesantren, terutama yang melayani fakir miskin dan anak terlantar, secara historis bekerja dengan sistem subsidi silang dan mengandalkan amal jariyah dari masyarakat. Ia mempertanyakan logika penarikan pajak jika negara tidak sepenuhnya menanggung biaya operasional pesantren.

"Pesantren itu dari dulunya subsidi silang. Jangan pesantren yang kayak gini kemudian dicekek begitu," ucap Rieke.

"Kalau 100% tidak memungut, pertanyaan saya apakah pemerintah mau menanggung semuanya? Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara," sindirnya.

Rieke menekankan bahwa adanya usaha minimarket kecil atau SPP murah Rp 100 ribu per bulan bukanlah indikasi bisnis murni, melainkan upaya bertahan untuk membiayai operasional. Ia menilai, orang-orang yang sudah ber-jariah masih harus dipajaki adalah hal yang perlu dipertimbangkan ulang secara regulasi.

"Ini orang gotong-royong jariah, habis jariah masih mau dipajakin juga. Memang pikiran-pikiran ini harus diturunkan pada aturan hukum. Saya mengerti pihak Bappenda juga tidak mungkin tidak memenuhi aturan hukum karena akan diaudit oleh BPK," tutupnya.

Di akhir pertemuan, Mastur Anwar, perwakilan dari Ponpes Al Fath Jalen, mengucapkan terima kasih atas dorongan Rieke. Ia berharap kasus di Bekasi ini dapat menjadi proyek percontohan kebijakan PBB yang adil bagi seluruh pondok pesantren di Indonesia.

Diberitakan sebelumnya, Ponpes Al-Fath Jalen di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, ditagih Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Jika tidak membayar, ponpes akan di Police Line.

"Tiba-tiba 2025 itu kami dapat surat terkait pajak PBB bahwa pesantren kami akan di-police line. Saya nangis terus terang. Nggak lama dari itu Abah wafat," ungkap Naili, pengurus ponpes.

"Gimana anak saya kalau di police line? Ribuan santri sekolah. Sedangkan itu murni bukan kesengajaan. Jadi memang sudah diinformasikan bebas bayar gitu," tambahnya menahan tangis.

Quote