Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menyoroti minimnya diversifikasi pangan nasional yang hanya memanfaatkan sekitar 25 spesies pangan, meski Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Kondisi ini dinilai jauh tertinggal dibandingkan China yang telah mengonsumsi lebih dari 125 spesies pangan.
"Indonesia punya biodiversitas luar biasa, tetapi yang dimanfaatkan hanya sekitar 25 spesies. Sementara China sudah 125. Artinya, ada yang salah dalam sistem pangan kita,” kata Rokhmin dalam RDPU Panja Penyusunan RUU Pangan dengan SPI dan Jaringan Petani Persada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Rokhmin menegaskan bahwa diversifikasi pangan merupakan pilar penting dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Ketergantungan hanya pada tiga komoditas utama—padi, jagung, dan kedelai—menjadikan Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim, volatilitas harga global, serta gangguan rantai distribusi.
Menurutnya, revisi RUU Pangan harus menempatkan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal sebagai agenda prioritas. Produk pangan seperti sorgum, sagu, umbi-umbian, talas, kacang-kacangan hingga pangan laut selama ini belum memperoleh dukungan strategis yang memadai dalam kebijakan pemerintah.
Rokhmin menilai stagnasi diversifikasi pangan Indonesia juga erat kaitannya dengan birokrasi yang kurang inovatif serta lemahnya dukungan riset dan hilirisasi pangan lokal.
“Kita selama ini terlalu fokus pada beras. Padahal negara lain berkembang karena memperluas basis pangan, bukan menyempitkannya. Keberagaman pangan adalah kekuatan,” tegas Legislator Fraksi PDI Perjuangan dapil Jawa Barat VIII.
Ia menuturkan bahwa negara-negara maju memiliki terobosan besar dalam mengembangkan sumber pangan alternatif. China, sebagai contoh, telah mendirikan laboratorium pangan di 31 provinsi sekaligus mendorong konsumsi pangan lokal sebagai langkah menjaga stabilitas nasional.
Rokhmin mengingatkan bahwa perubahan iklim dapat mengancam produksi padi dalam beberapa tahun ke depan, sehingga diversifikasi harus segera dilakukan.
“Kalau kita tidak segera melakukan diversifikasi, risiko krisis pangan akan semakin besar,” ucapnya.
Karena itu, ia mendorong Panja RUU Pangan untuk memasukkan diversifikasi berbasis riset, insentif pasar, serta edukasi konsumsi masyarakat dalam rancangan kebijakan baru.
“RUU Pangan harus menjadi titik awal transformasi sistem pangan nasional. Diversifikasi bukan opsi, tetapi kebutuhan,” pungkasnya.

















































































