Ikuti Kami

Rokhmin Dahuri: Kekuatan Sejati Sebuah Bangsa Diukur dari Karakter Rakyatnya

Rokhmin menegaskan sosialisasi ini bukan sekadar rutinitas, melainkan momentum strategis untuk membentuk karakter bangsa yang kokoh.

Rokhmin Dahuri: Kekuatan Sejati Sebuah Bangsa Diukur dari Karakter Rakyatnya
Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menegaskan kekuatan sejati sebuah bangsa bukan hanya diukur dari kekayaan alam atau kekuatan ekonomi, tetapi dari karakter rakyatnya. Hal ini ia sampaikan dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang digelar di Kantor DPC PDI Perjuangan Kabupaten Indramayu, Kamis (4/9).

Rokhmin menegaskan bahwa sosialisasi ini bukan sekadar rutinitas, melainkan momentum strategis untuk membentuk karakter bangsa yang kokoh di tengah arus globalisasi. 

“Empat karakter utama harus kita tanamkan sebagai warga negara yang bertanggung jawab: etos kerja unggul, akhlak mulia, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cinta tulus terhadap tanah air,” tegasnya di hadapan peserta.

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan 2025–2030 ini  menekankan bahwa nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya simbol, tetapi kekuatan hidup bangsa. 

Ia mengajak masyarakat untuk memperkokoh nilai-nilai kebangsaan sekaligus menjadikan ketahanan pangan sebagai prioritas nasional. Sebab, menurutnya, persatuan bangsa tidak bisa lepas dari keadilan sosial, terutama kesejahteraan petani dan ketersediaan pangan yang merata.

“Dengan pemahaman empat pilar dan komitmen kolektif terhadap ketahanan pangan, kita bisa membangun Indonesia yang berdaulat dan diridhoi Allah SWT,” ujar Rektor Universitas UMMI Bogor itu.

Tak hanya bicara soal karakter, Rokhmin juga mengaitkan nilai kebangsaan dengan isu strategis: ketahanan pangan. Menurutnya, pengelolaan potensi pangan secara bijak dan berkelanjutan adalah bagian dari tanggung jawab kebangsaan yang tak terpisahkan.

“Melalui pemahaman dan penerapan empat pilar serta komitmen bersama dalam mengelola sumber daya pangan, kita bisa membangun Indonesia yang maju, mandiri, dan diridhoi Allah SWT,” ujarnya.

Dalam kegiatan yang sarat semangat kebangsaan tersebut, Rokhmin menyerukan pentingnya penguatan nilai-nilai kebangsaan sebagai fondasi membangun bangsa yang beradab, makmur, dan berdaya saing global. 

"Tujuan utama dari kegiatan ini adalah menanamkan kembali nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah tantangan zaman, kita harus kembali ke jati diri sebagai bangsa yang berakhlak, beretika, dan berkepribadian kuat," tegasnya.

Rokhmin menyebut bahwa pembangunan yang sejati adalah ketika nilai-nilai luhur dijadikan pijakan, bukan hanya sekadar pembangunan fisik. Melalui kegiatan ini, masyarakat diharapkan lebih sadar akan perannya dalam menjaga persatuan, keadilan, dan keberlanjutan bangsa.

“Empat Pilar bukan sekadar hafalan, tapi harus menjadi sikap hidup. Kalau itu kita pegang, maka tak ada yang bisa memecah belah Indonesia,” tandasnya.

Menurutnya, keempat nilai tersebut adalah perwujudan konkret dari Pancasila dan harus menjadi bekal dalam menghadapi tantangan global maupun dinamika sosial di dalam negeri.

“Jika kita ingin Indonesia menjadi bangsa besar dan bermartabat, maka bangsa ini harus dibangun dari karakter. Bukan hanya infrastruktur, tapi juga manusia yang berkualitas, religius, dan nasionalis sejati,” tegas Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University itu.

Rokhmin Dahuri menyampaikan pandangan strategis mengenai peran Pancasila, bentuk negara kesatuan, dan ketahanan pangan sebagai fondasi utama dalam membangun bangsa yang maju dan sejahtera.

Ia menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan juga pandangan hidup, ideologi pemersatu, dan sumber dari segala sumber hukum.

“Pancasila adalah ligatur dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001–2004 itu.

Ia juga menyoroti bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menurutnya telah dikelola secara gotong royong, sebagaimana diungkapkan oleh Mohamad Hatta. Sementara itu, Muhammad Yamin memaknai pengelolaan negara dapat dilakukan melalui prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi menjadi kunci dalam merawat keberagaman dan memperkuat otonomi daerah.

Dalam konteks keberagaman, semboyan Bhineka Tunggal Ika dinilai sebagai kekuatan yang memberi ruang hidup bagi perbedaan agama, budaya, bahasa daerah, dan unit politik tradisional. “Unity in diversity, diversity in unity bukan hanya slogan, tapi prinsip hidup bersama,” katanya.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menegaskan kembali pentingnya Pancasila dan ketahanan pangan sebagai dua pilar utama dalam membangun bangsa yang kuat, adil, dan berdaya saing tinggi.

Dalam konteks kekinian, ia menekankan bahwa ketahanan pangan adalah isu strategis nasional. Indonesia, katanya, memiliki potensi besar untuk swasembada pangan, tetapi masih menghadapi tantangan serius dalam pengelolaannya.

“Pangan adalah kebutuhan dasar paling hakiki. Ia menentukan kualitas SDM kita. Jika gagal memenuhi pangan, kita sedang menciptakan generasi lemah, tidak cerdas, dan tidak produktif,” tegasnya.

Duta Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu memperingatkan bahwa kekurangan pangan akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif. 

“Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera," ujarnya.

Menurutnya, tanpa kualitas SDM unggul, tidak mungkin bangsa ini dapat bersaing di tingkat global. Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai kebangsaan dan ketahanan pangan harus berjalan seiring sebagai pilar pembangunan Indonesia masa depan.

“Indonesia bisa menjadi negara besar, tetapi hanya jika rakyatnya sehat, cerdas, dan bersatu dalam semangat kebangsaan,” tandasnya.

Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa pembangunan bangsa tidak hanya bertumpu pada infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga pada fondasi ideologis dan kualitas sumber daya manusia. Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali meneguhkan nilai-nilai dasar negara dan memperkuat ketahanan pangan sebagai investasi masa depan.

Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se-Indonesia) ini menegaskan bahwa Indonesia seharusnya mampu menjadi produsen dan eksportir pangan utama dunia, bukan justru bergantung pada impor.

Sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan lahan darat dan perairan yang subur, potensi Indonesia sangat besar untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan nasional.

“Secara logika, Indonesia bukan hanya bisa swasembada, tetapi seharusnya juga menjadi eksportir pangan ke seluruh dunia,” tegasnya.

Namun kenyataannya, kata Rokhmin, indeks ketahanan pangan Indonesia masih rapuh, dan sebagian besar pelaku utama seperti petani dan nelayan belum menikmati kesejahteraan yang layak.

“Inilah ironi kita. Negara yang subur dan kaya sumber daya justru masih tergantung pada pangan impor,” ungkapnya.

Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak, pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat untuk bersinergi memperkuat ekosistem usaha pangan dari hulu hingga hilir.

“Kita harus meningkatkan pendapatan masyarakat sektor pangan, memperluas lapangan kerja, dan mewujudkan kesejahteraan yang merata,” tegasnya.

Rokhmin menilai, jalan menuju lumbung pangan dunia bukan sekadar utopia, melainkan visi realistis yang bisa dicapai dengan konsistensi, kemauan politik, serta kebijakan yang pro-rakyat.

“Ketahanan pangan adalah pondasi kedaulatan bangsa. Jika rakyat sejahtera dari sawah dan laut, maka Indonesia akan berdiri kuat di panggung dunia,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

Quote